Minggu, 09 September 2018


KEMISKINAN , MODERNITAS DAN GLOBALISASI



Kemiskinan  adalah sebuah kata yang menggambarkan tentang keadaan seseorang,sekelompok orang atau sebuah komunitas yang hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Barangkali kamlimat ini yang patut didiskusikan  ditengah wacana dan praktek pengentasannya.  Berbagai kalangan telah berupaya untuk mengentaskan kemiskinan , namun kenyataanya kemiskinan masih terus menjadi persoalan utama dalam proses pembangunan itu sendiri. data Data BPS  menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan tertinggi berada di desa yakni 13,93 prosesn dari Kota yang hanya 7,72 prosen per Mart 2017 dan persentase penduduk miskin per Maret 2018 sebesar 9,82 persen atau setara 25,95 juta orang. Jika dirinci, persentase penduduk miskin di kota 7,02 persen sementara di desa 13,20 persen.

Sementara itu sumber lain yang dikutip penulis menyebutkan bahwa Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni mencapai 27,74% dari populasi. Indonesia memiliki sekitar 74 ribu desa. Dari jumlah tersebut diperkirakan sekitar 18% atau 18.126 desa masuk dalam kategori desa tertinggal, terbanyak di kawasan Indonesia timur. Disebut tertinggal karena desa tersebut kurang berkembang dalam aspek ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, aksesibilitas, dan faktor karakteristik daerah. Ketertinggalan tersebut membuat angka kemiskinan di daerah-daerah tersebut tinggi.

Berdasarkan paparan Bappenas, secara umum jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan sejak 2007 hingga 2018. Selama periode Maret 2017–Maret 2018, tingkat kemiskinan menurun di semua provinsi kecuali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, dan Papua yang justru mengalami kenaikan.

Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni mencapai 27,74%, artinya lebih dari seperempat populasi di provinsi tersebut masuk kategori miskin. Angka kemiskinan provinsi paling timur Indonesia tersebut 17,92 poin persen di atas angka kemiskinan nasional 9,82% dan 24,17 poin persen di atas angka kemiskinan DKI Jakarta 3,15%. Terlihat perbedaan mencolok atau disparitas angka kemiskinan antara Papua dan DKI Jakarta[1]





Dibalik data-data ini, sebuah pertanyaan untuk mengawali diskusi kita apa yang menjadi persoalannya sehingga kemiskinan itu tetap ada. Apakah pendkatan pengentasan kemiskinan belum terlaksana secara maksimal ? ataukah komitmen dan konsistensi kita dalam pemberantasan kemiskinan belum berjalan sebaik-baiknya ? Pertanyaan ini kemudian mem0unculkan pertanyaan lain Apa, mengapa dan bagaimana kemiskinan itu, barangkali menjadi penting untuk dielaborasikan dalam sebuah narasi panjang tentang kemiskinan itu. Hal ini penting sebagai sebuah perangkat pengetahuan untuk meletakan kemiskinan sebagai persoalan yang amat kompleks di tengah kehidupan manusia yang kian modern ditengah globalisasi dan liberalisasi kehidupan dewasa ini.

1.1.        Narasi Kemiskinan ditengah dinamika Modernitas dan globalisasi

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan baik di kota maupun di desa dalam sejarah pembangunan bangsa telah lama dijalankan oleh berbagai pihak, namun kenyataan tersebut belum juga mengatasi apa yang dinamakan kemiskinan. Hemat saya kemiskinan apapun cara pengentasannya, kondisi kemiskinan tetap akan ada di tengah lingkaran idiologisasi modernitas dan globalisasi. Idiologi besar ini memang memberi jaminan dan keyakinan akan adanya kehidupan yang lebih maju dan bermartabat, namun disisi yang lain kemajuan yang ditandai dengan modernitas dan globalisasi tetap saja meninggalkan kondisi kehidupan masyarakat yang disebut miskin walaupun kondisi kemiskinan tersebut telah berubah sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini yang disebut modern.

Dengan demikian kemiskinan adalah kata yang tetap akan ada ditengah kondisi kemajuan. Kemiskinan ibarat sebuah instrument verbalistis dari politik kapitalistis yang menggambarkan tentang sebuah perbedaan keadaan, maka setidaknya kemiskinan tetap akan ada demi keberlanjutan modernisasi dan globalisasi.

Dominasi kekuasaan yang beridiologi kapitalis memandang kehidupan yang maju sebagai sebuah kehidupan modern dengan menggunakan konsepsi globalisasi untuk keluar dari komunitasnya misalnya melalui pasar bebas dan sejumlah kebijakan untuk diakui eksistensinya sebagai Negara penguasa. Max Weber[2] misanya menyebut industry kapitalis membangun dirinya sebagai bentuk dominan aktivitas ekonomi selama abad tujubelas dan delapan belas, maka berarti ia mendapatkan momentum untuk melepaskan pandangan dan praktik keagamaan yang dibutuhkan dalam proses pemunculannya. Perkembangan kapitalisme, bersamaan dengan itu lahirnya negara birokratik, secara cepat merasionalkan tindakan dan mengadaptasikan prilaku manusia dengan criteria efisiensi teknis.Elemen yang murni personal, spontan dan emosional dari tindakan tradisional semuanya ditekan demi tuntutan kalkulasi tujuan rasional dan efisiensi teknis.

Kecenderungan global dari pengaruh modernitas dan globlisasi dalam prespektif idiologi kapitalis seakan memandang kemiskinan sebagai sebuah kondisi kehidupan ekonomi yang terbatas. Seseorang atau sebuah komunitas dikatakan miskin karena mereka tidak memiliki sesuatu hal ekonomi yang terbatas misalnya karena kekurangan uang, kekurangan sandang, pangan, dan papan. Keterbatasan itu ada karena ada perbedaan atau pembedaan. Pembedaan dari mana ,siapa dan apa ?. Pembedaan dari yang memiliki sesuatu kepada yang tidak memiliki sesuatu itu, maka kata miskin muncul dari siempunya kepada yang tidak memiliki. Jika berlatar pada sejarah perkembangan idiologisasi modernitas dan globalisasi di negara-negara maju dimana proses industrialisasi lokalnya termodifikasi dan tersalur untuk kemudian dipasarkan keluar dari lokalitasnya bukan semata untuk memperkaya dirinya melainkan untuk diakui eksistensinya, maka ketika produktivitas tersebut diadopsi maka jelas sebuah kekuasaan menjadi terlegitimat dalam relasi social yang lebih besar.

Walaupun demikian kemiskinan tidak sekedar sebagai sesuatu hal yang dapat diukur, dan dapat dipertukarkan sebagaiman yang dikatakan oleh sejumlah tokoh misalnya Sulistiyani (2004)[3] menyebut kemiskinan adalah suatu keadaan atau kondisi yang menggambarkan kehidupan seseorang, sekelompok orang yang kondisi hidupnya serba terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha sangat terbatas. Dengan demikian maka upaya memenuhi kebutuhan hidup standar seperti sandang, pangan dan papan juga mengalami kesulitan.

Mukherjee dan Carriere (2002) dalam Swis Tantoro (2014)[4] menyebut kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana orang mengalami berbagi ancaman untuk boleh hidup layak. Sementara itu defenisi lain sebagaimana Ismawan yang dikutip Saidan (1998)[5] menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai keadaan serba kekurangan yang dibalut oleh berbagai keadaan yang menekan kehidupan satu sama lain saling mempengaruhi keadaan tersebut..

Theodorson dan Achelle Theodorson dalam Swis Tantoro (2014)[6] memberikan konsep kemiskinan yang lebih luas dari sudut pandang sosiologis. Ia menyebutkan bahwa masyarakat yang miskin adalah miskin dalam kehidupan lahiriah dan batiniah, termasuk miskin moral. Menurut Tjokrowinoto[7] kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata, tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), Ketidakberdayaan (powerless), tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya

Sementara itu,Sunyoto Usman (2012)[8] mengatakan bahwa di dalam masyarakat diketemukan dua macam keadaan antara lain: 1) terdapat kemiskinan dan kesenjangan, atau 2) tidak terdapat kemiskinan tetapi boleh jadi masih ada kesenjangan. Menurutnya kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan (deprivation) terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kesenjangan adalah sebuah kondisi dimana didalamnya terjadi ketimpangan akses pada sumber-sumber ekonomi (economic resources).

Bertolak dari sejumlah rumusan tentang kemiskinan tersebut, dapat kita katakan kemiskinan sebagai persoalan yang amat sangat relative, multidimrnsi dan kausalistis. Komplesitas kemiskinan itu dapat kita refleksikan dari apa yang dikatakan oleh Susetiawan[9] bahwa kemiskinan sebenarnya adalah produk dari situasi yang kompleks yang merupakan akumulasi dari interelasi dari berbagai macam faktor seperti: latar belakang historis, masalah produktifitas dan ketenagakerjaan, ketergantungan pada sektor pertanian, keterbatasan akses pada input produksi serta kondisi sosial masyarakat desa itu sendiri, dengan demikian penjelasan tentang akar keterbelakangan melibatkan analisis dalam dimensi kultural sekaligus struktural. Inilah ketidakberdayaan masyarakat yang membutuhkan proses perubahan yang juga bersifat multidimensi.

Ruang lingkup kemiskinan yang cenderung meletakan persoalan ekonomi sebagai hal miskin akan menjadi sangat sempit walaupun disadari bahwa persoalan ekonomi merupakan persoalan yang mendasar dan realistis. Ketika persoalan ekonomi menjadi satu-satunya maka kecenderungan upaya pengentasan kemiskinan kadang hanya bersifat parsial seperti orang yang tidak memiliki rumah, pakayan dan pangan, upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara memberikan bantuan rumah, pakayan dan makanan. Bantuan lain berupa pemberian modal berupa uang. Tidak mengherankan masih terdapat sejumlah orang yang setiap kali selalu menunggu bantuan dari berbagai pihak. Sifat menunggu dan selalu bergantung justru merupakan hal ketidakberdayaan dan justru akan memicu kurang bertumbuhnya inisiatif untuk berjuang, kurangya kreativitas dalam berkarya. Max Weber [10] sekali lagi mengungkapkan kekecewaannya terhadap  dunia modern dimana sebagian nilai-nilai tradisionalisme yang berbeda dengan peradaban barat ditenggelamkan dibawah meningkatnya rasionalisasi dan birokratisasi kehidupan social dan ia melihatnya sebagai takdir era modern( Jhon B.Thomson:110)



Terlepas dari hal tersebut diatas Dominasi idiologi capitalist dalam era modern dan globalisasi pada satu sisi seakan begitu pragmatis yang mendorong kemajuan tanpa memandang sebuah proses yang dapat menghasilkan atau melahirkan sebuah tatanan nilai kehidupan yang hakiki dari eksistensi manusia yang pada masa tradisionalisme kehidupan manusia telah terbentuk dan tertanam sebagai sebuah pandangan hidup dan keyakinan hidup untuk menjaga dan merawat kehidupan yang seimbang antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan pencipta. Perkembangan idiologisasi kapitalis yang ditandai dengan kehidupan modernis dan globalisasi dengan bersemboyan pada efektivitas, evisiensi dan rasional tersebut memperalatkan pengetahuan dan teknologi sehingga kemudian melalui pengetahuan dan teknologi tersebut manusia menggantuykan perkembangan hidupnya misalnya melalui teknologi untuk mewakili dirinya dalam proses interaksi yang lebih besar. Manusia menggunakan teknologi untuk bekerja, untuk berinteraksi sehingga hubungan antara manusia dengan manusia tidak lagi menjadi hal yang paling penting. Manusia bekerja melalui mesin-mesin hasil karya teknologi, sehingga manusia tak lagi berproses. Sikap ketergantungan pun muncul sehingga kemudian warna kehidupan manusia disatu sisi menjadi lebih instan.

Berbagai pandangan hidup tradisional, keyakinan dan upaya-upaya konkrit dari kehidupan manusia untuk membangun relasi yang seimbangpun turut menjadi pudar. Kehadiran modernitas dan globalisasi yang lebih bernuansa kapitalisme ini tentu bukan berarti dipertentangkan atau digugat melainakan perlu dikritisi ditengah situasi kehidupan masyarakat dunia secara khusus masyarakat di daerah daerah bahkan di desa-desa yang masih sangat memiliki sejumlah keterbatasan hidup. Kondisi kehidupan masyarakat atau bangsa dan negara sedang berkembang misalnya masih hidup dalam kondisi yang belum semampan kondisi kehidupan di negara-negara maju yang menganut pandangan capitalist baik dari sisi sumber daya manusia dan sumber daya sosialnya. Kecenderungan mengadopsi secara penuh peradaban kehidupan social negara maju dapat mengakibatkan terinternalisasi pola kehidupan masyarakat local yang ala barat.

Kondisi ini kemudian mengakibatkan situasi dilematis dalam komunitas local. Masyarakat local di negara sedang berkembang hidup dalam lokalitasnya, pandangan hidupm local, keyakinan hidup local, sumber daya alam local, sumber daya social budayanya yang seakan dipaksa untuk menyamakan kondisi kehidupan negara maju

Modernitas merupakan sebuah varsa yang menggambarkan sebuah dinamika kehidupan manusia ditengah pembangunan. Modernitas sendiri menggambarkan sebuah kehidupan komunitas dunia yang terus berubah dari masa ke masa. Proses perubahan ini merupakan sebuah hasil refleksi kehidupan yang terus menerus melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, Modernitas menggambarkan sebuah perkembangan industrialisasi dalam bentuk dan rupa serta rasa yang berbeda. Kehadiran industrialisasi yang terus berkembang mengakibatkan hasil industrialisasi sebelumnya menjadi sesuatu yang lama dan tradisional, sekalipun hal tersebut lahir di tengah modernitas..

Proses memperkenalkan industrialisasi ini dilakukan melalui berbagai hal dan dilandasi juga oleh sebuah idiealisme misalnya idiologi kesejahteraan. Dalam ulpaya mencapai kesejahteraan hidup itu, manusia berusaha untuk selalu berubah dari kondisi hidupnya yang ada. Bagaimana dengan kehadiran industry-industri baru itu membawa dampak bagi hasil industry yang lama? Secara sederhana dapat kita katakan bahwa hakikat manusia yang selalu berubah menuju pada sesuatu yang baru itu tentu membuat industry-industri yang lama menjadi sesuatu yang tidak relevan untuk digunakan.

Globalisasi sebagaimana istilah yang dikenal saat ini merupakan sebuah proses yang berjalan seiringan dengan perkembangan penetahuan dan teknologi. ia hadir dalam sebuah pencerminan situasi dan kondisi yang modernis dengan membawa hasil-hasil industrialisasi. Beredarnya industri-industri barat sebagai sebuah manifestasi kondisional masyarakat  dalam  bentuk dan rupa yang berbeda. Industri-industri barat tersebut hadir baik melalui hal-hal material maupun imaterial seperti konsep-konsep, metoda dan strategi  serta benda-benda material lainnya.

Kehadirannya ditengah kondisi masyarakat yang masih terbatas dan belum terjangkau dengan kondisi bentuk dan rupa produk-produk tersebut dipresepsikan sebagai sesuatu yang moderen karena ia membahasakan tentang sebuah keindahan, sebuah kemudahan, keefektivitasan dan keevisinesi, kerasionalitasan yang merupakan simbolisasi kehidupan masyarakat yang maju dan sejahtera.

Negara-negara maju melalui produk-produk moderen tersebut terus berkembang dan memasuki ruang-ruang publik masyarakat baik di kota maupun di desa dalam semua aspek kehidupan. Proses pengadopsian masyarakat atas produk-produk moderen tersebut menjadikan sebuah situasi yang semakin moderen, itulah modernisasi.

Mobilitas industrialisasi yang terus berlanjut dan menembusi sekat-sekat primodialisme kehidupan masyarakat baik dari sekat geografis, administratif maupun institusional, kognitif dan afeksi serta pola laku masyarakat ini kemudian dikenal sebagai sebuah proses  yang menggelobal. Globalisasi sebagai sebuah proses yang mendunia ini membawa misi kolektif dan terintegrasi secara sistematis, untuk membahasakan  sesuatu yang rasional dan berkembang secara spontanitas.

Rasionalisasi empirik dari industrialisasi, modernisasi yang menggelobal ini  kemudian menjadikan kondisi dan situasi masyarakat sebelum hadirnya modernisasi itu dipandang sebagai yang  tradisional kendatipun itu berada dalam zaman modern. Presepsi manusiapun memandang kondisi hidupnya sebagai sesuatu yang kuno, ketinggalan dan keterbelakangan lantas kemiskinan menjadi ujung dari ungkapan umum untuk mendeterminiskan kondisi kehidupan masyarakat yang sebagai yang tradisional.

Kemiskinan sebagai sebuah gambaran keadaan akan keterbatasan hidup masyarakat dari kondisi modernis  kaum kapitalist selain memandang ukuran kepemilikan sebuah benda atau keberdaaan sebuah kondisi yang tidak sama dengan kondisi kehidupan kaum modernis ala kapitalist  juga dapat disinyalir sebagai sebuah produk lingual yang mengalienasi situasi kehidupan  melalui tekanan lingusitik Kemiskinan serta topangan idiologisasi kesejahteraan yang rasional dan objektif.

Pengaruh kuatnya idiologisasi industrialisasi, modernisasi yang menggelobal  tersebut memandang kesejahtraan sebagai sebuah kondisi dan keadaan serba ada dari kepemilikan akan sesuatu. Inilah wajah kapitalistik yang telah membumi dalam kognitif, afeksi masyarakat sehingga mendorong tindakan masyarakat untuk mencapainya.

 Tidak mengherankan munculah berbagai life style, adanya sikap hedonisme dan konsumerisme yang menggambarkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan tanpa harus memandang batas-batas etik, normatif dari kehidupan masyarakat. Karakteristik manusia yang selalu ada dan memiliki, terbentur pada janji-janji modernitas yang melahirkan upaya-upaya manusia yang kadang berdampak menimbulkan persaingan, konflik dan penghalalan segala cara untuk memilikinya.

Tidak terlepas dari itu kondisi ketidakberdayaan masyarakat ditengah hadirnya modernitas industrialisasi  bergeser pada persoalan lain seperti  sikap cemburu, curiga kepada mereka yang memiliki dalam kehidupan sembari selalu merasa tidak puas dengan kondisi yang ada mendorong seseorang untuk memperolehnya misalnya fenomena korupsi, manipulasi, rekayasa, intranspransi dan inakuntabilitas menjadi solusi instan untuk mendapatkannya.

Peleburan antara kehidupan yang modernis dan tradisional lambat laun  memunculkan  kondisi masyarakat yang dilematis pada keadaan keterbatasan. Industrialisasi dan modernitas yang bertujuan untuk mengatasi persoalan kemiskinan ekonomi masyarakat tidak saja membawa kemajuan tetapi juga berbarengan memunculkan kemiskinan dari aspek lain kehidupan manusia.  Kemiskinan, keterbatasan dan ketradisionalan, tetap akan ada untuk menjaga kelangsungan industrialisasi dan modernitas. 

Sebuah ceritra usang yang mengurai metode dan mekanisme tersebarnya paham kapitalist dan produk-produknya mengungkapkan bahwa untuk kepentingan kapitalist negara-negara maju mendoktrinkan kondisi kemajuan bahwa sebuah negara yang dikatakan sejahtera maka negara sedang berkembang semestinya menerapkan konsep dan strategi pembangunan sebagaimana yang dilakukan oleh negara maju. Pengakuan dari negara berkembang akan keterbatasan yang dimiliki menjadi ruang penawaran bagi negara maju untuk tampil sebagai pelaku yang menginvestkan konsep-konsep seraya menanamkan modal melalui berbagai program kerja,perusahaan dan lembaga-lembaga industialis lainnya.

Secara lokalitas kenegaraan di Negara sedang berkembang, konsep-konsep pembangunan tersebut dilakoni  sebagai produk politik  dalam membangun masyarakat dan bangsa yang didukung dengan sejumlah kebijakan dan regulasi pembangunan. Regulasi ataupun kebijakan pembangunan tercipta untuk menjaga keberlangsungan program-program pembangunan tersebut agar terorganisir, terarah dan terstruktur agar upaya kesejahtraan masyarakat yang dikonsepsikan dapat tercapai .

Selain itu produk-produk lokal negara dalam bentuk aturan atau kebijakan pembangunan mau dan tidak mau juga tetap dipengaruhi oleh  maksud dan tujuan untuk negara-maju yakni tersebarnya idiologisasi kapitalist di negara-negara sedang berkembang melalui hadirnya konsep-konsep dan interaksi pasar global.

Berbagai uraian tentang globalisasi dan dampaknya baik yang menghasilkan nilai-nilai positif maupun nilai-nilai negatif dalam pandangan lokal kita, industrialisasi dan modernisasi yang menggelobal tersebut tak dapat kita sangkali dan menutut kita untuk mengikutinya. Ditengah arus globalisasi yang menawarkan idiologisasi kapitalist tersebut memunculkan sebuah kemungkinan akan terjadinya kebebasaan masyarakat yang kerap menciptanya kesenjangan dan ketimpangan dalam hidup yang pada gilirannya mengancam integritas kehidupan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif, baik antar sesame maupun manusia dengan alam lingkungannya.

Industrialisasi, modernisasi yang menggelobal itu telah memunculkan adanya liberalisasi berbagai bidang misalnya bidang ekonomi adanya kebebasan bagi negara asing untuk melakukan investasi di berbagai bidang, misalnya   negara-negara maju yang telah mengikat diri dalam lembaga internasional seperti IMF (International Monetary  Fund) dan WTO ( World Trade Organization) Bank Dunia dan ADB dan sebagainya.

Keterlibatan lembaga internasional sebagaimana  yang disebutkan di atas tidak hanya mensuprot dana  tetapi juga melalui berbagai kebijakan-kebijakan. Ketika negara-negara sedang berkembang mengikat diri dalam lembaga internasional ataupun negara-negara maju lainnya maka terjadilah kerjasama dimana terciptanya kesepakatan-kesepakatan bersama yang harus diikuti sebagai sebuah sistem kerjasama.

Kondisi ini secara jelas bagi Negara sedang berkembang untuk memasukan aturan aturan yang telah disepakati dalam regulasi legal formal negara seperti undang-undang atau kebijakan lain beserta prinsi-prinsip pengelolaan dan pengembangannya. Sebut saja misalnya beberapa bentuk kerjasama indonesia dengan negara-negara maju dan atau lembaga internasional sebagaimana yang digambarkan Syamsul Hadi,dkk (2012)  misalnya IMF yang memasukan konsep liberalisasi ekonomi ditengah krisis ekonomi Indonesia.

Tekanan IMF, misalnya kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi sejumlah BUMN atau dalam latter of Intent (Loi) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF (29 Juli 1998), disebutkan Pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah. Selain itu , pemerintah juga berkomitmen akan menghapus hambatan bagi investasi asing disektor perdagangan grosir. Pada awal reformasi dimana Indonesia terkena krisis ekonomi tahun 1998, IMF melalui paket bantuannya meminta Indonesia melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi, salah satunya misalnya disektor energi

 Disebutkan juga misalnya pemberian akses bagi investor asing  terhadap kekayaan alam Indonesia sebagaimana tercermin dalam UU Migas dan UU Penanaman Modal. Intervensi Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia misalnya konstribusi ADB dalam regulasi Sistem jaminan sosial nasional (IJSN), selain itu Bank Dunia misalnya berkontribusi terhadap terbentuknya undang-undang SJSN. Bank dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk lebih fokus pada pelayanan publik yakni melalui kebijakan  yang menawarkan Indonesia mempercepat realisasi  Undang-undang No 40 tahun 2004 tentang SJSN misalnya yang kita kenal bentuk-bentuknya seperti Jamsostek,Taspen, ASABRI, ASKES, BPJS yang sedang dilaksanakan.

Beberapa bentuk kerjasama ini hendak menggambarkan bahwa ketika intervensi negara-negara maju atau lembaga internasional masuk dalam agenda pembangunan bangsa di Negara sedang berkembang maka seiring dengan itu sejumlah konsep, strategi, metode terus mengikuti sejumlah program yang disponsori. Secara nasional mau dan tidak mau diikuti karena memang Negara sedang berkembang  masih memiliki ketergantungan kepada pihak-pihak luar. Bagaimanapun dan kepada siapapun yang memiliki modal selaku pendonor, maka disana akan ada ruang bagi tumbuhnnya ide dan gagasan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar namun disatu sisi posisi tawar bagi negara manapun dan kepada siapapun menjadi semakin melemah Negara sedang berkembang belum begitu siap menghadapi kondisi tersebut. Integritas lokalitas kenegaraan menjadi sebuah taruhan sehinga kondisi dilematika kultural bangsa menjadi semakin ditantang.

Dengan demikian uraian uraian tersebut di atas mau menegaskan bahwa setiap negara khusunya negara berkembang seperti Indonesia yang merupakan negara multikultural, sebagaimana semboyan  negara Bineka Tunggal ika serta Pancasila sebagai Dasar Negara adalah jati diri bangsa yang diharapkan menjadi spiritual kehidupan berbangsa dan bernegara.  Menggelobalkan Pancasila sebagai dasar hidup masyarakat dijaman modern merupakan proses memodernisasi kehidupan masyarakat.

 Pancasila sebagai dasar Negara adalah pilar pembangunan yang jika dihayati dalam berbagai kegiatan pembangunan baik politik, pemerintahan, administrasi, maupun pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, pemberdayaan dan kehidupan sosial budaya akan menjadi suatu benteng pertahanan yang mensterilisasi berbagai sistem pembangunan dunia yang kaya akan idiologisasi dan yang belum tentu relevan dengan idiologisasi di Negara berkembang

Kehadiran globalisasi menjadi sebuah keahrusan dan sulit untuk dihindari.Kemiskinan berdada dalam pusaran globalisasi baik sebagai sebab maupun akibat. Kemiskinan tetap akan ada dalam bentuk yang barangkali sudah berbeda untuk menjaga dan memelihara kelangsungan industrialisasi dan modernitas. Kondisi kehidupan saat ini yang disebut moderen, pada suatu saat ketika perkembangan saman semakin melangit, ia akan berubah menjadi yang tradisional dan dikatakan miskin sebab puluhan tahun kemudian perkembangan saman semakin berubah.

Globalisasi adalah kekuatan yang memberi klaim pada keberlanjutan industrialisasi dan modernitas dalam menjaga sebuah mekanisme kekuasan dalam dunia ekonomi. Lalu apakah kita harus berada pada posisi ketertinggalan, ketradisionalan dan keterisolasian? Atau apakah kita harus  menjalani modernisasi yang kian menggelobal?. Pertanyaan ini menuntut sebuah selektifitas. Sesuatu yang harus dilakukan adalah menjalani modernitas dengan tidak meninggalkan kearifan lokal agar eksistensi lokal tetap tercipta sebagai langkah mengglobalkan lokalitas atau kearifan-kearifan lokal yang berperan meminimalisir dominasi idiologi kapitalistik tetapi juga bermaksud untuk menjaga dan memlihara keseimbangan agar ada dan tercipta identitas lokal.

Moidernitas dan globalisasi adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggambarkan tentang sebuah bentuk kemajuan.disana terdapat gambaran akan kesejahteraan, akan kualitas hidup. Demi keberlangsungan hidup modernitas itulah, bangsa-bangsa di dunia yang telah mendahului interaksi kehidupan dalam panggung sandiwara dunia enggan melepaskan identitasnya sebagai pengawal, pendahulu dan pencipta yang olehnya berbagai kreativitas, inovasi telah lama dipraktekan sehingga demi keberlangsungannya tersebut, muncul adanya gagasan baru untuk keluar dari komunitasnya dengan menebar sitem globalisasi.

Pasar bebas adalah sebuah jalur penyebarluasan kerativitas, dan inovasi ke lintas daerah dan Negara agar tumbuh hal baru demi menjaga keberlangsungan kreativitas dan inovasi dinegerinya sendiri dalam bahasa politik, sebut saja proses penyebarluasan kekuasaan kapitalistik. Perdagangan bebas menjadi pintu masuknya berbagai kreativitas dan inovasi baik melalui hal-hal material maupun konsepsi. Kreativitas dan inovasi yang dimiliki oleh Negara-negara maju hanya akan bisa berkembang manakala hal tersebut disalurkan keluar dari daerahnya dan ketika itu daerah misalnya Negara berkembang mengadopsinya dan disinilah ruang kekuasaan akan terus bertumbuh.

Jika suatu Negara berkembang ingin menjadi seprti Negara-negara maju, maka disanalah proses sharing strategi terjadi. sharing strategi tidak begitu saja terjadi, tetapi ia akan didahului dengan sejumlah consensus. studi banding antar Negara misalnya bias menjadi ruang pengabdosian, tawaran menjadi donator,ataupun kemasan-kemasan program yang lain semisal beasiswa pendidikan di luar negeri, kerjasama antar Negara ataupun lainnya.

Modernisasi dan globalisasi memang tidak bias dihindari, ia memang harus dilalui namun ketika modernisasi dan globalisasi yang menawarkan sejumlah bentuk kemajuan itu, hal yang dibutuhkan adalah standing position state dan posisi tawar bangsa menjadi penentu. Sebut saja Negara Indonesia yang memiliki idiologi pancasila, maka idiologoi ini harus menjadi jaminannya.pancasila menjadi penyatu bahkan menjadi arah pembangunan bangsa yang diharapkan dapat menjadi penyaring yang mampu memberi seleksi terhadap sejumlah tawaran idiologisasi lain.  modernisasi yang menggelobal tersebut dapat dijadikan sebuah strategi untuk mendorong potensi kearifan local  bangsa ketika semua elemen bangsa ini berkomitmen untuk mempraksiskan nilai-nilai npanscasila kedalam proses pembangunan bangsa.

modernitas sebenarnya adalah sesuatu yang sangat rasional, sangat efektif dan seharusnya digunakan. kehadirannya ditengah tradisionalisme pembangunan serta sejumlah keterbatasan hidup membawa konsekuensi dilematika social. sejumlah presespi dan penafsiran serta sejumlah kepentingan hidup menjadikan modernitas menjadi sesuatu yang kadang memberi dampak negative bagi sebuah komunitas. kerapuhan modal social komunitas masyarakat lahir karena keterbatsan hidup komunitas. dengan demikian menggunakan strategi modernitas untuk menggalang kekuatan lokalitas menjadi hal yang penting agar dari potensi local itu dapat kita globalkan melalui sederetan aktivitas pembangunan bangsa. memperkuat gagasan pancasila adalah hal yang barangkali dapat menjadi instrument untuk meletakan Indonesia pada posisi dunia sebagai Negara pelopor  perubahan.

Ketika Amerika atau Negara maju lainnya disebut sebagai Negara pelopor perubahan dunia, kenapa Inondonesia tidak bias disebut demikian? Indonesia dengan gagasan Pancasila serta kebinekaan tunggal ika dapat tampil menjadi pelopor yang memodernisasikan dan menggelobalkan pancasila sebagai gagasan dunia untuk menyelamatkan dunia dari  dominasi kapitalistis. sebab untuk menjadi sejahtera, mandiri seperti Negara-negara maju sebenarnya ada di dalam Pancasila,pancasila selain itu juga menjadi dasar bagi proses pembangunan yang seimbang.

Modernitas dan globalisasi menjadi sebuah vrasa instrumental yang memiliki kekuatan perubahan menuju pada persamaan kondisi secara global. Disisi yang lain dominasi modernitas dan globalisasi dapat menciptakan kesenjangan social karena tidak diikuti dengan sebuah ketahanan cultural dilevel akar rumput. Ketahanan cultural mengandung nilai-nilai hidup, disana terdapat spiritualitas kehidupan yang mengajarkan tentang keseimbangan hidup. Nilai-nilai hidup sebagaimana di Indonesia yang terkatub dalam lima sila pancasila merupakan cerminan hidup bangsa Indonesia yang multicultural. Proses penjabaran nilai hidup tersebut semestinya dilembagakan secara praksis berdasarkan kearifan local setiap daerah hingga ke desa. melembagakan pancasila berarti tidak sekedar melavalkannya melainkan dipraksiskan kedalam kehidupan sehari-hari baik melalui pendidikan formal maupun non formal, baik dalam urusan social budaya maupun politik dan ekonomi. Misalnya dalam urusan adat istiadat, sejumlah pandangan dan keyakinan akan nilai hidup yang dibahasakan secara local sebagaimana dibahasaindonesiakan kedalam lima sila pancasila menjadi penting untuk di lembagakan.

Uraian mengenai perkembangan modernitas dan globalisasi tersebut dalam komunitas lokalitas masyarakat kita membutuhkan sebuah intervensi untuk mengkapasitaskan potensi lokalitas kita dengan menggunakan metode modernisasi dan globalisasi untuk menginternalisasikan potensi local itu menjadi sebuah dasar kehidupan manusia dan masyarakat secara kolektif di tingkat lokalitas.

Berbagai perubahan dewasa ini khususnya kehidupan masyarakat di desa sebagai pewaris kemiskinan teertinggi tealah berubah jauh dari identitas lokalitasnya. Desa yang dulunya hidup dalam kondisi kehidupan yang damai, penuh dengan kekeluargaan, solidaritas, transparansi, spontanitas, penuh dengan inisiatif, toleransi, kerjasama dan tingkat partisipasi yang tinggi saban hari semakin pudar. Nilai-nilai kehidupan masyarakat yang menjadi modal social dalam pengembangan kehidupan yang sejahtera seakan terpupus oleh persaingan yang tidak sehat. Disana muncul sejumlah fenomena, ada berbagai konflik seperti perang tanding, tawuran antar warga, perebutan hak ulayat, perebutan jabatan dalam pemerintahan desa, kecemburan, kecurigaan, yang pada gilirannya memicu disintergrasi local.

Mengapa kondisi ini terjadi, tentu menjadi sebuah refleksi bersama ditengah hadirnya dominasi modernitas dan globalisasi yang menawarkan berbagai kondisi kehidupan. Masing-masing orang berusaha untuk mencapai cita-cita modernitas yaitu kesejahteraan, maka darinya ketika kesejahteraan tidak diikuti dengan sebuah penggelobalan nilai-nilai kearifan local memunculkan prifatisasi kehidupan disegala aspek kehidupan. Siapa yang kuat ia menjadi pemenang.

Kondisi kehidupan yang demikian tentu mebutuhkan sebuah perubahan pola kehidupan dan system social politik yang berbasis pada kearifan lokalitas. Saat ini prosesi pembangunan diarahkan kepada pengoptimalisasian kearifan local. Berbagai regulasi dikemas misalnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pada prinsipnya mengakui dan menghormati hak desa dan menetapkan kewenangan desa berskala local desa. Dua asas utama rekognisi dan subsidiaritas ini menjadi ruang yang terbuka bagi desa untuk bereksplorasi secara lebih dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian masayarakat dan desa. Desa memiliki berbagai potensi yang patut untuk dikembangkan dan dikelola, desa memiliki sejumlah asset yang potensial. Desa tidak saja menjadi basis dan medan akhir dari berbagai proses pembangunan. Desa adalah dapur, ia bias menjadi awal tetapi juga menjadi yang terakhir, ia bias menjadi sumber tetapi juga menjadi tujuan akhir dari semua arah perubahan.

Menuju desa membangun, semestinya kita memahami seperangkat pengetahuan tentang realitas perubahan dari masa ke masa, dari sejumlah konsepsi, atau dari sejumlah dinamika kehidupan. Modernisasi dan globalisasi berangkat dari desa, berkembang oleh desa dan bertujuan pula kepada desa. Artinya jika desa dalam pandangan tradisional sebagai sebuah komunitas yang hidup dalam sejumlah keterbatasan dan bertumbuh pada kearifannya, terus dihayati dan dipertahankan dan seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang mencipta berbagai industry, strategi dan model untuk membawa keluar apa yang dihasilkannya melalui istilah pasar bebas maka terkenal pula hasil karya itu. Itulah negara-negara yang mengawali proses pertumbuhan menggelobalkan hasil karya dan pengalaman pengetahuannya ke komunitas yang lebih besar. Mereka dikenal sebagai negara pendahulu dan oleh kita disebut sebagai negara yang sudah maju.

Negara-negara maju mengawali kemajuannya dengan inisiatif, kreativitas dan inovasinya dari kondisi lokalitasnya menuju pada relasi yang lebih besar dan luas. Siapapun dan negaramanapun mengawalinya dari dirinya sendiri, dari potensi yang dimilikinya. Dia berawal dari desa.

Sejumlah catatan penting dari keseluruhan uraian ini bermaksud untuk member pemahaman tentang bagaimana meletakan sebuah konsepsi pada sebuah latar kehidupan komunitasnya. Konsepsi kemiskinan misalnya tidak hadir dengan sendirinya melainkan sebuah refleksi kritis pada keadaan dan perbedaan keadaan dari seseorang kepada yang lain, dari komunitas yang satu kepada komunitas yang lain.

Sementara uraian tentang modernitas dan globalisasi tidak sekedar memberikan pemahaman tentang sebuah kemajuan semata, melainkan menunjukan betapa inisiatif, inovasi dan kreatifitas manusia dan komunitasnya dikembangkan dan ditumbuhkan dalam sebuah semangat dan komitmen bersama untuk mewujudkan kemajuan diberbagai sector.

Negara-negara maju sudah lama member jalan untuk menumbuhkan inisiatif dan kreativitas serta inovasi untuk dikembangkan oleh negara-negara di luar dirinya. Dia berangkat dari komunitas kecilnya yaitu desa. 

Mengapa ? karena desa adalah sebuah cerminan komunalitas, disana ada kebersamaan, ada kekeluargaan, ada solidaritas antar warga, Ada inisiatif, ada spontanitas, ada ikatan persaudaraan, ada gotong royong, ada kepedulian. Wajah desa yang demikian inilah menjadi kekuatan yang merefleksikan sejumlah harapan akan kehidupan yang sejahtera. Namun demikian apakah desa kini masih menggeliatkan komitmen komunalitasnya ditengah modernitas da globalisasi dewasa ini ?. menjadikan modernitas dan globalisasi sebagai ruang dan alat menumbuhkan inisiatif. Kreativitas dan inovasi untuk menjadikan kearifan local sebagai sebuah kebudayaan global, sebab modernisasi hadir untuk menyempurnakan dan bukan untuk meniadakan kearifan local dan globalisasi adalah alatnya.

Berbagai uraian tersebut diatas mau mengatakan bahwa kemiskinan ada dalam bingkai global yang sangat multidimensi dan relative. Keterbatasan sumber daya manusia adalah persoalan utama, yang darinya dapat menimbulkan berbagai kesenjangan baik structural maupun cultural. Kesenjangan tersebut kemudian mewabah ketika terdapat keterbatasan sumber daya manusia dari aspek moralitas hidup akibat adanya ketimpangan dari alokasi kekuasaan yang tidak seimbang. Terdapat berbagai elemen masyarakat dalam proses pembangunan seperti pemerintah, Civil society dan swasta. Elemen-elemen ini memeiliki peran yang sama yakni memajukan pembangunan dan transformasi social. Ketika elemen-elemen ini diberi kewenangan yang semakin terbuka akan member dampak pada proses penguatan kapasitas kehidupan yang lebih baik.Ketika kesenjangan ini terjadi antara elemen elemen tersebut maka sebenarnya kemiskinan pun sedang terjadi.

Hal yang mau ditegaskan adalah bahwa kemiskinan terjadi karena ada ketimpangan social baik dalam ranah structural maupun cultural. Keterbatasan Sumbbber daya manusia yang kurang Pembagian akses kewenangan yang kurangdan atau kurang terakomodirnya berbagai elemen dalam menjalani tugas dan fungsi, kurang adanya kesetaraan, kebersamaan, solidaritas, dominasi kepentingan serta privatisasi kehidupan yang menguat, kurang adanya komitmen dan konsistensi.

Hal kedua, Kehadiran modernitas dan globalisasi yang membawa perubahan yang cukup signifikan baik perubahan kearah kemajuan hidup maupun perubahan yang terkadang memunculkan kemunduran nilai hidup  akibat dari lemahnya sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya social,alam dan budaya serta politik maka setidaknya modernitas dan Globalisasi dipahami sebagai  saluran yang menyebarkan inisiatif, kreativitas dan inovasi bagai kehidupan yang dikatakan tradisional. Dengan demikian tugas kita adalah mengembangkan pendekatan modernitas dan sejumlah instrumentnya untuk mendorong munculnya inisiatif, kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan aset aset tradisional yang kaya akan kearifan-kearifan local. Tujuannya ialah bukan untuk sekedar mencapai modernitas melainkan membangun keseimbangan dan kesetaraan hidup.

Menggunakan dan mengembangkan aset aset tradisional atau local itu dalam spirit kearifan local dengan pendekatan modernitas menjadi penting untuk menumbuhkan berbagai potensi local agar mampu berkontribusi dalam meningkatkan dan mendorong kesejahteraan hidup.Disini proses perubahan dalam pembangunan diarahkan kembali untuk menumbuhkan semangat kehidupan komunitas desa sebagai pewaris kearifan local untuk berkomitmen mengawali perubahan pembangunan itu dari des agar kondisi kemiskinan masyarakat dapat di entaskan menuju kemandirian dan kesejahteraan.



[2] ( Jhon.B.Thomson, kritik idiologi global, 2015: 109-110)

[3] Ambar Teguh Sulistyani, 2004.Op.cit. hal.17
[4] Swis Tantoro 2014, Op.cit, hal. 29
[5]Swis Tantoro, Ibid.
[6]Swis Tantoro, Ibid.hal 30
[7]Swis Tantoro, Ibid. hal. 27
[8]Usman. Sunyoto , 2012, Op.cit. .hal.33
[9]Sunyoto Usman, 2012, Op.cit. hal.36

Kemiskinan


KEMISKINAN , MODERNITAS DAN GLOBALISASI



Kemiskinan  adalah sebuah kata yang menggambarkan tentang keadaan seseorang,sekelompok orang atau sebuah komunitas yang hidup dalam kondisi yang serba terbatas. Barangkali kamlimat ini yang patut didiskusikan  ditengah wacana dan praktek pengentasannya.  Berbagai kalangan telah berupaya untuk mengentaskan kemiskinan , namun kenyataanya kemiskinan masih terus menjadi persoalan utama dalam proses pembangunan itu sendiri. data Data BPS  menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan tertinggi berada di desa yakni 13,93 prosesn dari Kota yang hanya 7,72 prosen per Mart 2017 dan persentase penduduk miskin per Maret 2018 sebesar 9,82 persen atau setara 25,95 juta orang. Jika dirinci, persentase penduduk miskin di kota 7,02 persen sementara di desa 13,20 persen.

Sementara itu sumber lain yang dikutip penulis menyebutkan bahwa Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni mencapai 27,74% dari populasi. Indonesia memiliki sekitar 74 ribu desa. Dari jumlah tersebut diperkirakan sekitar 18% atau 18.126 desa masuk dalam kategori desa tertinggal, terbanyak di kawasan Indonesia timur. Disebut tertinggal karena desa tersebut kurang berkembang dalam aspek ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, aksesibilitas, dan faktor karakteristik daerah. Ketertinggalan tersebut membuat angka kemiskinan di daerah-daerah tersebut tinggi.

Berdasarkan paparan Bappenas, secara umum jumlah penduduk miskin di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan sejak 2007 hingga 2018. Selama periode Maret 2017–Maret 2018, tingkat kemiskinan menurun di semua provinsi kecuali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, dan Papua yang justru mengalami kenaikan.

Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni mencapai 27,74%, artinya lebih dari seperempat populasi di provinsi tersebut masuk kategori miskin. Angka kemiskinan provinsi paling timur Indonesia tersebut 17,92 poin persen di atas angka kemiskinan nasional 9,82% dan 24,17 poin persen di atas angka kemiskinan DKI Jakarta 3,15%. Terlihat perbedaan mencolok atau disparitas angka kemiskinan antara Papua dan DKI Jakarta[1]



Dibalik data-data ini, sebuah pertanyaan untuk mengawali diskusi kita apa yang menjadi persoalannya sehingga kemiskinan itu tetap ada. Apakah pendkatan pengentasan kemiskinan belum terlaksana secara maksimal ? ataukah komitmen dan konsistensi kita dalam pemberantasan kemiskinan belum berjalan sebaik-baiknya ? Pertanyaan ini kemudian mem0unculkan pertanyaan lain Apa, mengapa dan bagaimana kemiskinan itu, barangkali menjadi penting untuk dielaborasikan dalam sebuah narasi panjang tentang kemiskinan itu. Hal ini penting sebagai sebuah perangkat pengetahuan untuk meletakan kemiskinan sebagai persoalan yang amat kompleks di tengah kehidupan manusia yang kian modern ditengah globalisasi dan liberalisasi kehidupan dewasa ini.

1.1.        Narasi Kemiskinan ditengah dinamika Modernitas dan globalisasi

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan baik di kota maupun di desa dalam sejarah pembangunan bangsa telah lama dijalankan oleh berbagai pihak, namun kenyataan tersebut belum juga mengatasi apa yang dinamakan kemiskinan. Hemat saya kemiskinan apapun cara pengentasannya, kondisi kemiskinan tetap akan ada di tengah lingkaran idiologisasi modernitas dan globalisasi. Idiologi besar ini memang memberi jaminan dan keyakinan akan adanya kehidupan yang lebih maju dan bermartabat, namun disisi yang lain kemajuan yang ditandai dengan modernitas dan globalisasi tetap saja meninggalkan kondisi kehidupan masyarakat yang disebut miskin walaupun kondisi kemiskinan tersebut telah berubah sesuai dengan kondisi kehidupan saat ini yang disebut modern.

Dengan demikian kemiskinan adalah kata yang tetap akan ada ditengah kondisi kemajuan. Kemiskinan ibarat sebuah instrument verbalistis dari politik kapitalistis yang menggambarkan tentang sebuah perbedaan keadaan, maka setidaknya kemiskinan tetap akan ada demi keberlanjutan modernisasi dan globalisasi.

Dominasi kekuasaan yang beridiologi kapitalis memandang kehidupan yang maju sebagai sebuah kehidupan modern dengan menggunakan konsepsi globalisasi untuk keluar dari komunitasnya misalnya melalui pasar bebas dan sejumlah kebijakan untuk diakui eksistensinya sebagai Negara penguasa. Max Weber[2] misanya menyebut industry kapitalis membangun dirinya sebagai bentuk dominan aktivitas ekonomi selama abad tujubelas dan delapan belas, maka berarti ia mendapatkan momentum untuk melepaskan pandangan dan praktik keagamaan yang dibutuhkan dalam proses pemunculannya. Perkembangan kapitalisme, bersamaan dengan itu lahirnya negara birokratik, secara cepat merasionalkan tindakan dan mengadaptasikan prilaku manusia dengan criteria efisiensi teknis.Elemen yang murni personal, spontan dan emosional dari tindakan tradisional semuanya ditekan demi tuntutan kalkulasi tujuan rasional dan efisiensi teknis.

Kecenderungan global dari pengaruh modernitas dan globlisasi dalam prespektif idiologi kapitalis seakan memandang kemiskinan sebagai sebuah kondisi kehidupan ekonomi yang terbatas. Seseorang atau sebuah komunitas dikatakan miskin karena mereka tidak memiliki sesuatu hal ekonomi yang terbatas misalnya karena kekurangan uang, kekurangan sandang, pangan, dan papan. Keterbatasan itu ada karena ada perbedaan atau pembedaan. Pembedaan dari mana ,siapa dan apa ?. Pembedaan dari yang memiliki sesuatu kepada yang tidak memiliki sesuatu itu, maka kata miskin muncul dari siempunya kepada yang tidak memiliki. Jika berlatar pada sejarah perkembangan idiologisasi modernitas dan globalisasi di negara-negara maju dimana proses industrialisasi lokalnya termodifikasi dan tersalur untuk kemudian dipasarkan keluar dari lokalitasnya bukan semata untuk memperkaya dirinya melainkan untuk diakui eksistensinya, maka ketika produktivitas tersebut diadopsi maka jelas sebuah kekuasaan menjadi terlegitimat dalam relasi social yang lebih besar.

Walaupun demikian kemiskinan tidak sekedar sebagai sesuatu hal yang dapat diukur, dan dapat dipertukarkan sebagaiman yang dikatakan oleh sejumlah tokoh misalnya Sulistiyani (2004)[3] menyebut kemiskinan adalah suatu keadaan atau kondisi yang menggambarkan kehidupan seseorang, sekelompok orang yang kondisi hidupnya serba terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya sehingga dalam setiap aktivitas maupun usaha sangat terbatas. Dengan demikian maka upaya memenuhi kebutuhan hidup standar seperti sandang, pangan dan papan juga mengalami kesulitan.

Mukherjee dan Carriere (2002) dalam Swis Tantoro (2014)[4] menyebut kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana orang mengalami berbagi ancaman untuk boleh hidup layak. Sementara itu defenisi lain sebagaimana Ismawan yang dikutip Saidan (1998)[5] menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai keadaan serba kekurangan yang dibalut oleh berbagai keadaan yang menekan kehidupan satu sama lain saling mempengaruhi keadaan tersebut..

Theodorson dan Achelle Theodorson dalam Swis Tantoro (2014)[6] memberikan konsep kemiskinan yang lebih luas dari sudut pandang sosiologis. Ia menyebutkan bahwa masyarakat yang miskin adalah miskin dalam kehidupan lahiriah dan batiniah, termasuk miskin moral. Menurut Tjokrowinoto[7] kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata, tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), Ketidakberdayaan (powerless), tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya

Sementara itu,Sunyoto Usman (2012)[8] mengatakan bahwa di dalam masyarakat diketemukan dua macam keadaan antara lain: 1) terdapat kemiskinan dan kesenjangan, atau 2) tidak terdapat kemiskinan tetapi boleh jadi masih ada kesenjangan. Menurutnya kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan (deprivation) terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kesenjangan adalah sebuah kondisi dimana didalamnya terjadi ketimpangan akses pada sumber-sumber ekonomi (economic resources).

Bertolak dari sejumlah rumusan tentang kemiskinan tersebut, dapat kita katakan kemiskinan sebagai persoalan yang amat sangat relative, multidimrnsi dan kausalistis. Komplesitas kemiskinan itu dapat kita refleksikan dari apa yang dikatakan oleh Susetiawan[9] bahwa kemiskinan sebenarnya adalah produk dari situasi yang kompleks yang merupakan akumulasi dari interelasi dari berbagai macam faktor seperti: latar belakang historis, masalah produktifitas dan ketenagakerjaan, ketergantungan pada sektor pertanian, keterbatasan akses pada input produksi serta kondisi sosial masyarakat desa itu sendiri, dengan demikian penjelasan tentang akar keterbelakangan melibatkan analisis dalam dimensi kultural sekaligus struktural. Inilah ketidakberdayaan masyarakat yang membutuhkan proses perubahan yang juga bersifat multidimensi.

Ruang lingkup kemiskinan yang cenderung meletakan persoalan ekonomi sebagai hal miskin akan menjadi sangat sempit walaupun disadari bahwa persoalan ekonomi merupakan persoalan yang mendasar dan realistis. Ketika persoalan ekonomi menjadi satu-satunya maka kecenderungan upaya pengentasan kemiskinan kadang hanya bersifat parsial seperti orang yang tidak memiliki rumah, pakayan dan pangan, upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara memberikan bantuan rumah, pakayan dan makanan. Bantuan lain berupa pemberian modal berupa uang. Tidak mengherankan masih terdapat sejumlah orang yang setiap kali selalu menunggu bantuan dari berbagai pihak. Sifat menunggu dan selalu bergantung justru merupakan hal ketidakberdayaan dan justru akan memicu kurang bertumbuhnya inisiatif untuk berjuang, kurangya kreativitas dalam berkarya. Max Weber [10] sekali lagi mengungkapkan kekecewaannya terhadap  dunia modern dimana sebagian nilai-nilai tradisionalisme yang berbeda dengan peradaban barat ditenggelamkan dibawah meningkatnya rasionalisasi dan birokratisasi kehidupan social dan ia melihatnya sebagai takdir era modern( Jhon B.Thomson:110)



Terlepas dari hal tersebut diatas Dominasi idiologi capitalist dalam era modern dan globalisasi pada satu sisi seakan begitu pragmatis yang mendorong kemajuan tanpa memandang sebuah proses yang dapat menghasilkan atau melahirkan sebuah tatanan nilai kehidupan yang hakiki dari eksistensi manusia yang pada masa tradisionalisme kehidupan manusia telah terbentuk dan tertanam sebagai sebuah pandangan hidup dan keyakinan hidup untuk menjaga dan merawat kehidupan yang seimbang antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan pencipta. Perkembangan idiologisasi kapitalis yang ditandai dengan kehidupan modernis dan globalisasi dengan bersemboyan pada efektivitas, evisiensi dan rasional tersebut memperalatkan pengetahuan dan teknologi sehingga kemudian melalui pengetahuan dan teknologi tersebut manusia menggantuykan perkembangan hidupnya misalnya melalui teknologi untuk mewakili dirinya dalam proses interaksi yang lebih besar. Manusia menggunakan teknologi untuk bekerja, untuk berinteraksi sehingga hubungan antara manusia dengan manusia tidak lagi menjadi hal yang paling penting. Manusia bekerja melalui mesin-mesin hasil karya teknologi, sehingga manusia tak lagi berproses. Sikap ketergantungan pun muncul sehingga kemudian warna kehidupan manusia disatu sisi menjadi lebih instan.

Berbagai pandangan hidup tradisional, keyakinan dan upaya-upaya konkrit dari kehidupan manusia untuk membangun relasi yang seimbangpun turut menjadi pudar. Kehadiran modernitas dan globalisasi yang lebih bernuansa kapitalisme ini tentu bukan berarti dipertentangkan atau digugat melainakan perlu dikritisi ditengah situasi kehidupan masyarakat dunia secara khusus masyarakat di daerah daerah bahkan di desa-desa yang masih sangat memiliki sejumlah keterbatasan hidup. Kondisi kehidupan masyarakat atau bangsa dan negara sedang berkembang misalnya masih hidup dalam kondisi yang belum semampan kondisi kehidupan di negara-negara maju yang menganut pandangan capitalist baik dari sisi sumber daya manusia dan sumber daya sosialnya. Kecenderungan mengadopsi secara penuh peradaban kehidupan social negara maju dapat mengakibatkan terinternalisasi pola kehidupan masyarakat local yang ala barat.

Kondisi ini kemudian mengakibatkan situasi dilematis dalam komunitas local. Masyarakat local di negara sedang berkembang hidup dalam lokalitasnya, pandangan hidupm local, keyakinan hidup local, sumber daya alam local, sumber daya social budayanya yang seakan dipaksa untuk menyamakan kondisi kehidupan negara maju

Modernitas merupakan sebuah varsa yang menggambarkan sebuah dinamika kehidupan manusia ditengah pembangunan. Modernitas sendiri menggambarkan sebuah kehidupan komunitas dunia yang terus berubah dari masa ke masa. Proses perubahan ini merupakan sebuah hasil refleksi kehidupan yang terus menerus melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, Modernitas menggambarkan sebuah perkembangan industrialisasi dalam bentuk dan rupa serta rasa yang berbeda. Kehadiran industrialisasi yang terus berkembang mengakibatkan hasil industrialisasi sebelumnya menjadi sesuatu yang lama dan tradisional, sekalipun hal tersebut lahir di tengah modernitas..

Proses memperkenalkan industrialisasi ini dilakukan melalui berbagai hal dan dilandasi juga oleh sebuah idiealisme misalnya idiologi kesejahteraan. Dalam ulpaya mencapai kesejahteraan hidup itu, manusia berusaha untuk selalu berubah dari kondisi hidupnya yang ada. Bagaimana dengan kehadiran industry-industri baru itu membawa dampak bagi hasil industry yang lama? Secara sederhana dapat kita katakan bahwa hakikat manusia yang selalu berubah menuju pada sesuatu yang baru itu tentu membuat industry-industri yang lama menjadi sesuatu yang tidak relevan untuk digunakan.

Globalisasi sebagaimana istilah yang dikenal saat ini merupakan sebuah proses yang berjalan seiringan dengan perkembangan penetahuan dan teknologi. ia hadir dalam sebuah pencerminan situasi dan kondisi yang modernis dengan membawa hasil-hasil industrialisasi. Beredarnya industri-industri barat sebagai sebuah manifestasi kondisional masyarakat  dalam  bentuk dan rupa yang berbeda. Industri-industri barat tersebut hadir baik melalui hal-hal material maupun imaterial seperti konsep-konsep, metoda dan strategi  serta benda-benda material lainnya.

Kehadirannya ditengah kondisi masyarakat yang masih terbatas dan belum terjangkau dengan kondisi bentuk dan rupa produk-produk tersebut dipresepsikan sebagai sesuatu yang moderen karena ia membahasakan tentang sebuah keindahan, sebuah kemudahan, keefektivitasan dan keevisinesi, kerasionalitasan yang merupakan simbolisasi kehidupan masyarakat yang maju dan sejahtera.

Negara-negara maju melalui produk-produk moderen tersebut terus berkembang dan memasuki ruang-ruang publik masyarakat baik di kota maupun di desa dalam semua aspek kehidupan. Proses pengadopsian masyarakat atas produk-produk moderen tersebut menjadikan sebuah situasi yang semakin moderen, itulah modernisasi.

Mobilitas industrialisasi yang terus berlanjut dan menembusi sekat-sekat primodialisme kehidupan masyarakat baik dari sekat geografis, administratif maupun institusional, kognitif dan afeksi serta pola laku masyarakat ini kemudian dikenal sebagai sebuah proses  yang menggelobal. Globalisasi sebagai sebuah proses yang mendunia ini membawa misi kolektif dan terintegrasi secara sistematis, untuk membahasakan  sesuatu yang rasional dan berkembang secara spontanitas.

Rasionalisasi empirik dari industrialisasi, modernisasi yang menggelobal ini  kemudian menjadikan kondisi dan situasi masyarakat sebelum hadirnya modernisasi itu dipandang sebagai yang  tradisional kendatipun itu berada dalam zaman modern. Presepsi manusiapun memandang kondisi hidupnya sebagai sesuatu yang kuno, ketinggalan dan keterbelakangan lantas kemiskinan menjadi ujung dari ungkapan umum untuk mendeterminiskan kondisi kehidupan masyarakat yang sebagai yang tradisional.

Kemiskinan sebagai sebuah gambaran keadaan akan keterbatasan hidup masyarakat dari kondisi modernis  kaum kapitalist selain memandang ukuran kepemilikan sebuah benda atau keberdaaan sebuah kondisi yang tidak sama dengan kondisi kehidupan kaum modernis ala kapitalist  juga dapat disinyalir sebagai sebuah produk lingual yang mengalienasi situasi kehidupan  melalui tekanan lingusitik Kemiskinan serta topangan idiologisasi kesejahteraan yang rasional dan objektif.

Pengaruh kuatnya idiologisasi industrialisasi, modernisasi yang menggelobal  tersebut memandang kesejahtraan sebagai sebuah kondisi dan keadaan serba ada dari kepemilikan akan sesuatu. Inilah wajah kapitalistik yang telah membumi dalam kognitif, afeksi masyarakat sehingga mendorong tindakan masyarakat untuk mencapainya.

 Tidak mengherankan munculah berbagai life style, adanya sikap hedonisme dan konsumerisme yang menggambarkan sebuah kebebasan dan kemerdekaan tanpa harus memandang batas-batas etik, normatif dari kehidupan masyarakat. Karakteristik manusia yang selalu ada dan memiliki, terbentur pada janji-janji modernitas yang melahirkan upaya-upaya manusia yang kadang berdampak menimbulkan persaingan, konflik dan penghalalan segala cara untuk memilikinya.

Tidak terlepas dari itu kondisi ketidakberdayaan masyarakat ditengah hadirnya modernitas industrialisasi  bergeser pada persoalan lain seperti  sikap cemburu, curiga kepada mereka yang memiliki dalam kehidupan sembari selalu merasa tidak puas dengan kondisi yang ada mendorong seseorang untuk memperolehnya misalnya fenomena korupsi, manipulasi, rekayasa, intranspransi dan inakuntabilitas menjadi solusi instan untuk mendapatkannya.

Peleburan antara kehidupan yang modernis dan tradisional lambat laun  memunculkan  kondisi masyarakat yang dilematis pada keadaan keterbatasan. Industrialisasi dan modernitas yang bertujuan untuk mengatasi persoalan kemiskinan ekonomi masyarakat tidak saja membawa kemajuan tetapi juga berbarengan memunculkan kemiskinan dari aspek lain kehidupan manusia.  Kemiskinan, keterbatasan dan ketradisionalan, tetap akan ada untuk menjaga kelangsungan industrialisasi dan modernitas. 

Sebuah ceritra usang yang mengurai metode dan mekanisme tersebarnya paham kapitalist dan produk-produknya mengungkapkan bahwa untuk kepentingan kapitalist negara-negara maju mendoktrinkan kondisi kemajuan bahwa sebuah negara yang dikatakan sejahtera maka negara sedang berkembang semestinya menerapkan konsep dan strategi pembangunan sebagaimana yang dilakukan oleh negara maju. Pengakuan dari negara berkembang akan keterbatasan yang dimiliki menjadi ruang penawaran bagi negara maju untuk tampil sebagai pelaku yang menginvestkan konsep-konsep seraya menanamkan modal melalui berbagai program kerja,perusahaan dan lembaga-lembaga industialis lainnya.

Secara lokalitas kenegaraan di Negara sedang berkembang, konsep-konsep pembangunan tersebut dilakoni  sebagai produk politik  dalam membangun masyarakat dan bangsa yang didukung dengan sejumlah kebijakan dan regulasi pembangunan. Regulasi ataupun kebijakan pembangunan tercipta untuk menjaga keberlangsungan program-program pembangunan tersebut agar terorganisir, terarah dan terstruktur agar upaya kesejahtraan masyarakat yang dikonsepsikan dapat tercapai .

Selain itu produk-produk lokal negara dalam bentuk aturan atau kebijakan pembangunan mau dan tidak mau juga tetap dipengaruhi oleh  maksud dan tujuan untuk negara-maju yakni tersebarnya idiologisasi kapitalist di negara-negara sedang berkembang melalui hadirnya konsep-konsep dan interaksi pasar global.

Berbagai uraian tentang globalisasi dan dampaknya baik yang menghasilkan nilai-nilai positif maupun nilai-nilai negatif dalam pandangan lokal kita, industrialisasi dan modernisasi yang menggelobal tersebut tak dapat kita sangkali dan menutut kita untuk mengikutinya. Ditengah arus globalisasi yang menawarkan idiologisasi kapitalist tersebut memunculkan sebuah kemungkinan akan terjadinya kebebasaan masyarakat yang kerap menciptanya kesenjangan dan ketimpangan dalam hidup yang pada gilirannya mengancam integritas kehidupan masyarakat baik secara pribadi maupun kolektif, baik antar sesame maupun manusia dengan alam lingkungannya.

Industrialisasi, modernisasi yang menggelobal itu telah memunculkan adanya liberalisasi berbagai bidang misalnya bidang ekonomi adanya kebebasan bagi negara asing untuk melakukan investasi di berbagai bidang, misalnya   negara-negara maju yang telah mengikat diri dalam lembaga internasional seperti IMF (International Monetary  Fund) dan WTO ( World Trade Organization) Bank Dunia dan ADB dan sebagainya.

Keterlibatan lembaga internasional sebagaimana  yang disebutkan di atas tidak hanya mensuprot dana  tetapi juga melalui berbagai kebijakan-kebijakan. Ketika negara-negara sedang berkembang mengikat diri dalam lembaga internasional ataupun negara-negara maju lainnya maka terjadilah kerjasama dimana terciptanya kesepakatan-kesepakatan bersama yang harus diikuti sebagai sebuah sistem kerjasama.

Kondisi ini secara jelas bagi Negara sedang berkembang untuk memasukan aturan aturan yang telah disepakati dalam regulasi legal formal negara seperti undang-undang atau kebijakan lain beserta prinsi-prinsip pengelolaan dan pengembangannya. Sebut saja misalnya beberapa bentuk kerjasama indonesia dengan negara-negara maju dan atau lembaga internasional sebagaimana yang digambarkan Syamsul Hadi,dkk (2012)  misalnya IMF yang memasukan konsep liberalisasi ekonomi ditengah krisis ekonomi Indonesia.

Tekanan IMF, misalnya kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi sejumlah BUMN atau dalam latter of Intent (Loi) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF (29 Juli 1998), disebutkan Pemerintah Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan disederhanakan dan dipermudah. Selain itu , pemerintah juga berkomitmen akan menghapus hambatan bagi investasi asing disektor perdagangan grosir. Pada awal reformasi dimana Indonesia terkena krisis ekonomi tahun 1998, IMF melalui paket bantuannya meminta Indonesia melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi, salah satunya misalnya disektor energi

 Disebutkan juga misalnya pemberian akses bagi investor asing  terhadap kekayaan alam Indonesia sebagaimana tercermin dalam UU Migas dan UU Penanaman Modal. Intervensi Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia misalnya konstribusi ADB dalam regulasi Sistem jaminan sosial nasional (IJSN), selain itu Bank Dunia misalnya berkontribusi terhadap terbentuknya undang-undang SJSN. Bank dunia merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk lebih fokus pada pelayanan publik yakni melalui kebijakan  yang menawarkan Indonesia mempercepat realisasi  Undang-undang No 40 tahun 2004 tentang SJSN misalnya yang kita kenal bentuk-bentuknya seperti Jamsostek,Taspen, ASABRI, ASKES, BPJS yang sedang dilaksanakan.

Beberapa bentuk kerjasama ini hendak menggambarkan bahwa ketika intervensi negara-negara maju atau lembaga internasional masuk dalam agenda pembangunan bangsa di Negara sedang berkembang maka seiring dengan itu sejumlah konsep, strategi, metode terus mengikuti sejumlah program yang disponsori. Secara nasional mau dan tidak mau diikuti karena memang Negara sedang berkembang  masih memiliki ketergantungan kepada pihak-pihak luar. Bagaimanapun dan kepada siapapun yang memiliki modal selaku pendonor, maka disana akan ada ruang bagi tumbuhnnya ide dan gagasan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar namun disatu sisi posisi tawar bagi negara manapun dan kepada siapapun menjadi semakin melemah Negara sedang berkembang belum begitu siap menghadapi kondisi tersebut. Integritas lokalitas kenegaraan menjadi sebuah taruhan sehinga kondisi dilematika kultural bangsa menjadi semakin ditantang.

Dengan demikian uraian uraian tersebut di atas mau menegaskan bahwa setiap negara khusunya negara berkembang seperti Indonesia yang merupakan negara multikultural, sebagaimana semboyan  negara Bineka Tunggal ika serta Pancasila sebagai Dasar Negara adalah jati diri bangsa yang diharapkan menjadi spiritual kehidupan berbangsa dan bernegara.  Menggelobalkan Pancasila sebagai dasar hidup masyarakat dijaman modern merupakan proses memodernisasi kehidupan masyarakat.

 Pancasila sebagai dasar Negara adalah pilar pembangunan yang jika dihayati dalam berbagai kegiatan pembangunan baik politik, pemerintahan, administrasi, maupun pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan, pemberdayaan dan kehidupan sosial budaya akan menjadi suatu benteng pertahanan yang mensterilisasi berbagai sistem pembangunan dunia yang kaya akan idiologisasi dan yang belum tentu relevan dengan idiologisasi di Negara berkembang

Kehadiran globalisasi menjadi sebuah keahrusan dan sulit untuk dihindari.Kemiskinan berdada dalam pusaran globalisasi baik sebagai sebab maupun akibat. Kemiskinan tetap akan ada dalam bentuk yang barangkali sudah berbeda untuk menjaga dan memelihara kelangsungan industrialisasi dan modernitas. Kondisi kehidupan saat ini yang disebut moderen, pada suatu saat ketika perkembangan saman semakin melangit, ia akan berubah menjadi yang tradisional dan dikatakan miskin sebab puluhan tahun kemudian perkembangan saman semakin berubah.

Globalisasi adalah kekuatan yang memberi klaim pada keberlanjutan industrialisasi dan modernitas dalam menjaga sebuah mekanisme kekuasan dalam dunia ekonomi. Lalu apakah kita harus berada pada posisi ketertinggalan, ketradisionalan dan keterisolasian? Atau apakah kita harus  menjalani modernisasi yang kian menggelobal?. Pertanyaan ini menuntut sebuah selektifitas. Sesuatu yang harus dilakukan adalah menjalani modernitas dengan tidak meninggalkan kearifan lokal agar eksistensi lokal tetap tercipta sebagai langkah mengglobalkan lokalitas atau kearifan-kearifan lokal yang berperan meminimalisir dominasi idiologi kapitalistik tetapi juga bermaksud untuk menjaga dan memlihara keseimbangan agar ada dan tercipta identitas lokal.

Moidernitas dan globalisasi adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggambarkan tentang sebuah bentuk kemajuan.disana terdapat gambaran akan kesejahteraan, akan kualitas hidup. Demi keberlangsungan hidup modernitas itulah, bangsa-bangsa di dunia yang telah mendahului interaksi kehidupan dalam panggung sandiwara dunia enggan melepaskan identitasnya sebagai pengawal, pendahulu dan pencipta yang olehnya berbagai kreativitas, inovasi telah lama dipraktekan sehingga demi keberlangsungannya tersebut, muncul adanya gagasan baru untuk keluar dari komunitasnya dengan menebar sitem globalisasi.

Pasar bebas adalah sebuah jalur penyebarluasan kerativitas, dan inovasi ke lintas daerah dan Negara agar tumbuh hal baru demi menjaga keberlangsungan kreativitas dan inovasi dinegerinya sendiri dalam bahasa politik, sebut saja proses penyebarluasan kekuasaan kapitalistik. Perdagangan bebas menjadi pintu masuknya berbagai kreativitas dan inovasi baik melalui hal-hal material maupun konsepsi. Kreativitas dan inovasi yang dimiliki oleh Negara-negara maju hanya akan bisa berkembang manakala hal tersebut disalurkan keluar dari daerahnya dan ketika itu daerah misalnya Negara berkembang mengadopsinya dan disinilah ruang kekuasaan akan terus bertumbuh.

Jika suatu Negara berkembang ingin menjadi seprti Negara-negara maju, maka disanalah proses sharing strategi terjadi. sharing strategi tidak begitu saja terjadi, tetapi ia akan didahului dengan sejumlah consensus. studi banding antar Negara misalnya bias menjadi ruang pengabdosian, tawaran menjadi donator,ataupun kemasan-kemasan program yang lain semisal beasiswa pendidikan di luar negeri, kerjasama antar Negara ataupun lainnya.

Modernisasi dan globalisasi memang tidak bias dihindari, ia memang harus dilalui namun ketika modernisasi dan globalisasi yang menawarkan sejumlah bentuk kemajuan itu, hal yang dibutuhkan adalah standing position state dan posisi tawar bangsa menjadi penentu. Sebut saja Negara Indonesia yang memiliki idiologi pancasila, maka idiologoi ini harus menjadi jaminannya.pancasila menjadi penyatu bahkan menjadi arah pembangunan bangsa yang diharapkan dapat menjadi penyaring yang mampu memberi seleksi terhadap sejumlah tawaran idiologisasi lain.  modernisasi yang menggelobal tersebut dapat dijadikan sebuah strategi untuk mendorong potensi kearifan local  bangsa ketika semua elemen bangsa ini berkomitmen untuk mempraksiskan nilai-nilai npanscasila kedalam proses pembangunan bangsa.

modernitas sebenarnya adalah sesuatu yang sangat rasional, sangat efektif dan seharusnya digunakan. kehadirannya ditengah tradisionalisme pembangunan serta sejumlah keterbatasan hidup membawa konsekuensi dilematika social. sejumlah presespi dan penafsiran serta sejumlah kepentingan hidup menjadikan modernitas menjadi sesuatu yang kadang memberi dampak negative bagi sebuah komunitas. kerapuhan modal social komunitas masyarakat lahir karena keterbatsan hidup komunitas. dengan demikian menggunakan strategi modernitas untuk menggalang kekuatan lokalitas menjadi hal yang penting agar dari potensi local itu dapat kita globalkan melalui sederetan aktivitas pembangunan bangsa. memperkuat gagasan pancasila adalah hal yang barangkali dapat menjadi instrument untuk meletakan Indonesia pada posisi dunia sebagai Negara pelopor  perubahan.

Ketika Amerika atau Negara maju lainnya disebut sebagai Negara pelopor perubahan dunia, kenapa Inondonesia tidak bias disebut demikian? Indonesia dengan gagasan Pancasila serta kebinekaan tunggal ika dapat tampil menjadi pelopor yang memodernisasikan dan menggelobalkan pancasila sebagai gagasan dunia untuk menyelamatkan dunia dari  dominasi kapitalistis. sebab untuk menjadi sejahtera, mandiri seperti Negara-negara maju sebenarnya ada di dalam Pancasila,pancasila selain itu juga menjadi dasar bagi proses pembangunan yang seimbang.

Modernitas dan globalisasi menjadi sebuah vrasa instrumental yang memiliki kekuatan perubahan menuju pada persamaan kondisi secara global. Disisi yang lain dominasi modernitas dan globalisasi dapat menciptakan kesenjangan social karena tidak diikuti dengan sebuah ketahanan cultural dilevel akar rumput. Ketahanan cultural mengandung nilai-nilai hidup, disana terdapat spiritualitas kehidupan yang mengajarkan tentang keseimbangan hidup. Nilai-nilai hidup sebagaimana di Indonesia yang terkatub dalam lima sila pancasila merupakan cerminan hidup bangsa Indonesia yang multicultural. Proses penjabaran nilai hidup tersebut semestinya dilembagakan secara praksis berdasarkan kearifan local setiap daerah hingga ke desa. melembagakan pancasila berarti tidak sekedar melavalkannya melainkan dipraksiskan kedalam kehidupan sehari-hari baik melalui pendidikan formal maupun non formal, baik dalam urusan social budaya maupun politik dan ekonomi. Misalnya dalam urusan adat istiadat, sejumlah pandangan dan keyakinan akan nilai hidup yang dibahasakan secara local sebagaimana dibahasaindonesiakan kedalam lima sila pancasila menjadi penting untuk di lembagakan.

Uraian mengenai perkembangan modernitas dan globalisasi tersebut dalam komunitas lokalitas masyarakat kita membutuhkan sebuah intervensi untuk mengkapasitaskan potensi lokalitas kita dengan menggunakan metode modernisasi dan globalisasi untuk menginternalisasikan potensi local itu menjadi sebuah dasar kehidupan manusia dan masyarakat secara kolektif di tingkat lokalitas.

Berbagai perubahan dewasa ini khususnya kehidupan masyarakat di desa sebagai pewaris kemiskinan teertinggi tealah berubah jauh dari identitas lokalitasnya. Desa yang dulunya hidup dalam kondisi kehidupan yang damai, penuh dengan kekeluargaan, solidaritas, transparansi, spontanitas, penuh dengan inisiatif, toleransi, kerjasama dan tingkat partisipasi yang tinggi saban hari semakin pudar. Nilai-nilai kehidupan masyarakat yang menjadi modal social dalam pengembangan kehidupan yang sejahtera seakan terpupus oleh persaingan yang tidak sehat. Disana muncul sejumlah fenomena, ada berbagai konflik seperti perang tanding, tawuran antar warga, perebutan hak ulayat, perebutan jabatan dalam pemerintahan desa, kecemburan, kecurigaan, yang pada gilirannya memicu disintergrasi local.

Mengapa kondisi ini terjadi, tentu menjadi sebuah refleksi bersama ditengah hadirnya dominasi modernitas dan globalisasi yang menawarkan berbagai kondisi kehidupan. Masing-masing orang berusaha untuk mencapai cita-cita modernitas yaitu kesejahteraan, maka darinya ketika kesejahteraan tidak diikuti dengan sebuah penggelobalan nilai-nilai kearifan local memunculkan prifatisasi kehidupan disegala aspek kehidupan. Siapa yang kuat ia menjadi pemenang.

Kondisi kehidupan yang demikian tentu mebutuhkan sebuah perubahan pola kehidupan dan system social politik yang berbasis pada kearifan lokalitas. Saat ini prosesi pembangunan diarahkan kepada pengoptimalisasian kearifan local. Berbagai regulasi dikemas misalnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pada prinsipnya mengakui dan menghormati hak desa dan menetapkan kewenangan desa berskala local desa. Dua asas utama rekognisi dan subsidiaritas ini menjadi ruang yang terbuka bagi desa untuk bereksplorasi secara lebih dalam membangun kesejahteraan dan kemandirian masayarakat dan desa. Desa memiliki berbagai potensi yang patut untuk dikembangkan dan dikelola, desa memiliki sejumlah asset yang potensial. Desa tidak saja menjadi basis dan medan akhir dari berbagai proses pembangunan. Desa adalah dapur, ia bias menjadi awal tetapi juga menjadi yang terakhir, ia bias menjadi sumber tetapi juga menjadi tujuan akhir dari semua arah perubahan.

Menuju desa membangun, semestinya kita memahami seperangkat pengetahuan tentang realitas perubahan dari masa ke masa, dari sejumlah konsepsi, atau dari sejumlah dinamika kehidupan. Modernisasi dan globalisasi berangkat dari desa, berkembang oleh desa dan bertujuan pula kepada desa. Artinya jika desa dalam pandangan tradisional sebagai sebuah komunitas yang hidup dalam sejumlah keterbatasan dan bertumbuh pada kearifannya, terus dihayati dan dipertahankan dan seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang mencipta berbagai industry, strategi dan model untuk membawa keluar apa yang dihasilkannya melalui istilah pasar bebas maka terkenal pula hasil karya itu. Itulah negara-negara yang mengawali proses pertumbuhan menggelobalkan hasil karya dan pengalaman pengetahuannya ke komunitas yang lebih besar. Mereka dikenal sebagai negara pendahulu dan oleh kita disebut sebagai negara yang sudah maju.

Negara-negara maju mengawali kemajuannya dengan inisiatif, kreativitas dan inovasinya dari kondisi lokalitasnya menuju pada relasi yang lebih besar dan luas. Siapapun dan negaramanapun mengawalinya dari dirinya sendiri, dari potensi yang dimilikinya. Dia berawal dari desa.

Sejumlah catatan penting dari keseluruhan uraian ini bermaksud untuk member pemahaman tentang bagaimana meletakan sebuah konsepsi pada sebuah latar kehidupan komunitasnya. Konsepsi kemiskinan misalnya tidak hadir dengan sendirinya melainkan sebuah refleksi kritis pada keadaan dan perbedaan keadaan dari seseorang kepada yang lain, dari komunitas yang satu kepada komunitas yang lain.

Sementara uraian tentang modernitas dan globalisasi tidak sekedar memberikan pemahaman tentang sebuah kemajuan semata, melainkan menunjukan betapa inisiatif, inovasi dan kreatifitas manusia dan komunitasnya dikembangkan dan ditumbuhkan dalam sebuah semangat dan komitmen bersama untuk mewujudkan kemajuan diberbagai sector.

Negara-negara maju sudah lama member jalan untuk menumbuhkan inisiatif dan kreativitas serta inovasi untuk dikembangkan oleh negara-negara di luar dirinya. Dia berangkat dari komunitas kecilnya yaitu desa. 

Mengapa ? karena desa adalah sebuah cerminan komunalitas, disana ada kebersamaan, ada kekeluargaan, ada solidaritas antar warga, Ada inisiatif, ada spontanitas, ada ikatan persaudaraan, ada gotong royong, ada kepedulian. Wajah desa yang demikian inilah menjadi kekuatan yang merefleksikan sejumlah harapan akan kehidupan yang sejahtera. Namun demikian apakah desa kini masih menggeliatkan komitmen komunalitasnya ditengah modernitas da globalisasi dewasa ini ?. menjadikan modernitas dan globalisasi sebagai ruang dan alat menumbuhkan inisiatif. Kreativitas dan inovasi untuk menjadikan kearifan local sebagai sebuah kebudayaan global, sebab modernisasi hadir untuk menyempurnakan dan bukan untuk meniadakan kearifan local dan globalisasi adalah alatnya.

Berbagai uraian tersebut diatas mau mengatakan bahwa kemiskinan ada dalam bingkai global yang sangat multidimensi dan relative. Keterbatasan sumber daya manusia adalah persoalan utama, yang darinya dapat menimbulkan berbagai kesenjangan baik structural maupun cultural. Kesenjangan tersebut kemudian mewabah ketika terdapat keterbatasan sumber daya manusia dari aspek moralitas hidup akibat adanya ketimpangan dari alokasi kekuasaan yang tidak seimbang. Terdapat berbagai elemen masyarakat dalam proses pembangunan seperti pemerintah, Civil society dan swasta. Elemen-elemen ini memeiliki peran yang sama yakni memajukan pembangunan dan transformasi social. Ketika elemen-elemen ini diberi kewenangan yang semakin terbuka akan member dampak pada proses penguatan kapasitas kehidupan yang lebih baik.Ketika kesenjangan ini terjadi antara elemen elemen tersebut maka sebenarnya kemiskinan pun sedang terjadi.

Hal yang mau ditegaskan adalah bahwa kemiskinan terjadi karena ada ketimpangan social baik dalam ranah structural maupun cultural. Keterbatasan Sumbbber daya manusia yang kurang Pembagian akses kewenangan yang kurangdan atau kurang terakomodirnya berbagai elemen dalam menjalani tugas dan fungsi, kurang adanya kesetaraan, kebersamaan, solidaritas, dominasi kepentingan serta privatisasi kehidupan yang menguat, kurang adanya komitmen dan konsistensi.

Hal kedua, Kehadiran modernitas dan globalisasi yang membawa perubahan yang cukup signifikan baik perubahan kearah kemajuan hidup maupun perubahan yang terkadang memunculkan kemunduran nilai hidup  akibat dari lemahnya sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya social,alam dan budaya serta politik maka setidaknya modernitas dan Globalisasi dipahami sebagai  saluran yang menyebarkan inisiatif, kreativitas dan inovasi bagai kehidupan yang dikatakan tradisional. Dengan demikian tugas kita adalah mengembangkan pendekatan modernitas dan sejumlah instrumentnya untuk mendorong munculnya inisiatif, kreativitas dan inovasi dalam mengembangkan aset aset tradisional yang kaya akan kearifan-kearifan local. Tujuannya ialah bukan untuk sekedar mencapai modernitas melainkan membangun keseimbangan dan kesetaraan hidup.

Menggunakan dan mengembangkan aset aset tradisional atau local itu dalam spirit kearifan local dengan pendekatan modernitas menjadi penting untuk menumbuhkan berbagai potensi local agar mampu berkontribusi dalam meningkatkan dan mendorong kesejahteraan hidup.Disini proses perubahan dalam pembangunan diarahkan kembali untuk menumbuhkan semangat kehidupan komunitas desa sebagai pewaris kearifan local untuk berkomitmen mengawali perubahan pembangunan itu dari des agar kondisi kemiskinan masyarakat dapat di entaskan menuju kemandirian dan kesejahteraan.



[2] ( Jhon.B.Thomson, kritik idiologi global, 2015: 109-110)

[3] Ambar Teguh Sulistyani, 2004.Op.cit. hal.17
[4] Swis Tantoro 2014, Op.cit, hal. 29
[5]Swis Tantoro, Ibid.
[6]Swis Tantoro, Ibid.hal 30
[7]Swis Tantoro, Ibid. hal. 27
[8]Usman. Sunyoto , 2012, Op.cit. .hal.33
[9]Sunyoto Usman, 2012, Op.cit. hal.36