KEMISKINAN , MODERNITAS DAN GLOBALISASI
Kemiskinan adalah sebuah kata yang menggambarkan tentang
keadaan seseorang,sekelompok orang atau sebuah komunitas yang hidup dalam
kondisi yang serba terbatas. Barangkali kamlimat ini yang patut didiskusikan ditengah wacana dan praktek
pengentasannya. Berbagai kalangan telah
berupaya untuk mengentaskan kemiskinan , namun kenyataanya kemiskinan masih
terus menjadi persoalan utama dalam proses pembangunan itu sendiri. data Data BPS menyebutkan
bahwa tingkat kemiskinan tertinggi berada di desa yakni 13,93 prosesn dari Kota
yang hanya 7,72 prosen per Mart 2017 dan persentase penduduk miskin per Maret 2018 sebesar 9,82
persen atau setara 25,95 juta orang. Jika dirinci, persentase penduduk miskin
di kota 7,02 persen sementara di desa 13,20 persen.
Sementara
itu sumber lain yang dikutip penulis menyebutkan bahwa Papua merupakan provinsi dengan
persentase penduduk miskin tertinggi, yakni mencapai 27,74% dari populasi. Indonesia memiliki sekitar 74 ribu desa. Dari jumlah
tersebut diperkirakan sekitar 18% atau 18.126 desa masuk dalam kategori desa
tertinggal, terbanyak di kawasan Indonesia timur. Disebut tertinggal karena
desa tersebut kurang berkembang dalam aspek ekonomi, sumber daya manusia,
infrastruktur, aksesibilitas, dan faktor karakteristik daerah. Ketertinggalan
tersebut membuat angka kemiskinan di daerah-daerah tersebut tinggi.
Berdasarkan paparan Bappenas, secara umum jumlah penduduk miskin
di wilayah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan sejak 2007 hingga
2018. Selama periode Maret 2017–Maret 2018, tingkat kemiskinan menurun di semua
provinsi kecuali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Maluku Utara, dan Papua yang
justru mengalami kenaikan.
Papua merupakan provinsi dengan persentase penduduk miskin
tertinggi, yakni mencapai 27,74%, artinya lebih dari seperempat populasi di
provinsi tersebut masuk kategori miskin. Angka kemiskinan provinsi paling timur
Indonesia tersebut 17,92 poin persen di atas angka kemiskinan nasional 9,82%
dan 24,17 poin persen di atas angka kemiskinan DKI Jakarta 3,15%. Terlihat
perbedaan mencolok atau disparitas angka kemiskinan antara Papua dan DKI
Jakarta[1]
Dibalik data-data ini, sebuah pertanyaan untuk mengawali diskusi
kita apa yang menjadi persoalannya sehingga kemiskinan itu tetap ada. Apakah
pendkatan pengentasan kemiskinan belum terlaksana secara maksimal ? ataukah
komitmen dan konsistensi kita dalam pemberantasan kemiskinan belum berjalan
sebaik-baiknya ? Pertanyaan ini kemudian mem0unculkan pertanyaan lain Apa,
mengapa dan bagaimana kemiskinan itu, barangkali menjadi penting untuk
dielaborasikan dalam sebuah narasi panjang tentang kemiskinan itu. Hal ini
penting sebagai sebuah perangkat pengetahuan untuk meletakan kemiskinan sebagai
persoalan yang amat kompleks di tengah kehidupan manusia yang kian modern ditengah
globalisasi dan liberalisasi kehidupan dewasa ini.
1.1.
Narasi Kemiskinan ditengah dinamika Modernitas dan globalisasi
Berbagai upaya pengentasan kemiskinan baik di kota maupun di desa dalam
sejarah pembangunan bangsa telah lama dijalankan oleh berbagai pihak, namun
kenyataan tersebut belum juga mengatasi apa yang dinamakan kemiskinan. Hemat
saya kemiskinan apapun cara pengentasannya, kondisi kemiskinan tetap akan ada
di tengah lingkaran idiologisasi modernitas dan globalisasi. Idiologi besar ini
memang memberi jaminan dan keyakinan akan adanya kehidupan yang lebih maju dan
bermartabat, namun disisi yang lain kemajuan yang ditandai dengan modernitas
dan globalisasi tetap saja meninggalkan kondisi kehidupan masyarakat yang
disebut miskin walaupun kondisi kemiskinan tersebut telah berubah sesuai dengan
kondisi kehidupan saat ini yang disebut modern.
Dengan demikian kemiskinan adalah kata yang tetap akan ada ditengah
kondisi kemajuan. Kemiskinan ibarat sebuah instrument verbalistis dari politik
kapitalistis yang menggambarkan tentang sebuah perbedaan keadaan, maka
setidaknya kemiskinan tetap akan ada demi keberlanjutan modernisasi dan
globalisasi.
Dominasi kekuasaan yang beridiologi kapitalis memandang kehidupan yang
maju sebagai sebuah kehidupan modern dengan menggunakan konsepsi globalisasi
untuk keluar dari komunitasnya misalnya melalui pasar bebas dan sejumlah
kebijakan untuk diakui eksistensinya sebagai Negara penguasa. Max Weber[2] misanya menyebut industry kapitalis
membangun dirinya sebagai bentuk dominan aktivitas ekonomi selama abad
tujubelas dan delapan belas, maka berarti ia mendapatkan momentum untuk
melepaskan pandangan dan praktik keagamaan yang dibutuhkan dalam proses
pemunculannya. Perkembangan kapitalisme, bersamaan dengan itu lahirnya negara
birokratik, secara cepat merasionalkan tindakan dan mengadaptasikan prilaku
manusia dengan criteria efisiensi teknis.Elemen yang murni personal, spontan
dan emosional dari tindakan tradisional semuanya ditekan demi tuntutan
kalkulasi tujuan rasional dan efisiensi teknis.
Kecenderungan global dari pengaruh modernitas dan globlisasi dalam
prespektif idiologi kapitalis seakan memandang kemiskinan sebagai sebuah
kondisi kehidupan ekonomi yang terbatas. Seseorang atau sebuah komunitas
dikatakan miskin karena mereka tidak memiliki sesuatu hal ekonomi yang terbatas
misalnya karena kekurangan uang, kekurangan sandang, pangan, dan papan. Keterbatasan
itu ada karena ada perbedaan atau pembedaan. Pembedaan dari mana ,siapa dan apa
?. Pembedaan dari yang memiliki sesuatu kepada yang tidak memiliki sesuatu itu,
maka kata miskin muncul dari siempunya kepada yang tidak memiliki. Jika
berlatar pada sejarah perkembangan idiologisasi modernitas dan globalisasi di
negara-negara maju dimana proses industrialisasi lokalnya termodifikasi dan
tersalur untuk kemudian dipasarkan keluar dari lokalitasnya bukan semata untuk
memperkaya dirinya melainkan untuk diakui eksistensinya, maka ketika
produktivitas tersebut diadopsi maka jelas sebuah kekuasaan menjadi
terlegitimat dalam relasi social yang lebih besar.
Walaupun demikian kemiskinan tidak sekedar sebagai sesuatu hal yang
dapat diukur, dan dapat dipertukarkan sebagaiman yang dikatakan oleh sejumlah
tokoh misalnya Sulistiyani (2004)[3] menyebut kemiskinan adalah suatu keadaan atau kondisi
yang menggambarkan kehidupan seseorang, sekelompok orang yang kondisi hidupnya
serba terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang atau
kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya sehingga dalam setiap
aktivitas maupun usaha sangat terbatas. Dengan demikian maka upaya memenuhi kebutuhan hidup standar seperti
sandang, pangan dan papan juga mengalami kesulitan.
Mukherjee
dan Carriere (2002) dalam Swis
Tantoro (2014)[4] menyebut kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana orang
mengalami berbagi ancaman untuk boleh hidup layak. Sementara itu defenisi lain
sebagaimana Ismawan yang dikutip Saidan (1998)[5] menyebutkan bahwa kemiskinan sebagai keadaan serba
kekurangan yang dibalut oleh berbagai keadaan yang menekan kehidupan satu sama
lain saling mempengaruhi keadaan tersebut..
Theodorson
dan Achelle Theodorson dalam Swis Tantoro (2014)[6] memberikan konsep kemiskinan yang lebih luas dari sudut
pandang sosiologis. Ia menyebutkan bahwa masyarakat yang miskin adalah miskin
dalam kehidupan lahiriah dan batiniah, termasuk miskin moral. Menurut
Tjokrowinoto[7] kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan
kesejahteraan (welfare) semata,
tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), Ketidakberdayaan (powerless),
tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar
penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi,
rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya
kemiskinan yang diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya
Sementara
itu,Sunyoto Usman (2012)[8] mengatakan bahwa di dalam masyarakat diketemukan dua
macam keadaan antara lain: 1) terdapat kemiskinan dan kesenjangan, atau 2)
tidak terdapat kemiskinan tetapi boleh jadi masih ada kesenjangan. Menurutnya
kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan (deprivation) terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa pangan,
sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan kesenjangan adalah sebuah
kondisi dimana didalamnya terjadi ketimpangan akses pada sumber-sumber ekonomi (economic resources).
Bertolak
dari sejumlah rumusan tentang kemiskinan tersebut, dapat kita katakan
kemiskinan sebagai persoalan yang amat sangat relative, multidimrnsi dan
kausalistis. Komplesitas kemiskinan itu dapat kita refleksikan dari apa yang
dikatakan oleh Susetiawan[9]
bahwa kemiskinan sebenarnya adalah produk dari situasi yang kompleks yang
merupakan akumulasi dari interelasi dari berbagai macam faktor seperti: latar
belakang historis, masalah produktifitas dan ketenagakerjaan, ketergantungan
pada sektor pertanian, keterbatasan akses pada input produksi serta kondisi sosial masyarakat desa itu sendiri,
dengan demikian penjelasan tentang akar keterbelakangan melibatkan analisis
dalam dimensi kultural sekaligus struktural. Inilah ketidakberdayaan masyarakat yang membutuhkan
proses perubahan yang juga bersifat multidimensi.
Ruang
lingkup kemiskinan yang cenderung meletakan persoalan ekonomi sebagai hal
miskin akan menjadi sangat sempit walaupun disadari bahwa persoalan ekonomi
merupakan persoalan yang mendasar dan realistis. Ketika persoalan ekonomi
menjadi satu-satunya maka kecenderungan upaya pengentasan kemiskinan kadang
hanya bersifat parsial seperti orang yang tidak memiliki rumah, pakayan dan
pangan, upaya pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara memberikan bantuan
rumah, pakayan dan makanan. Bantuan lain berupa pemberian modal berupa uang.
Tidak mengherankan masih terdapat sejumlah orang yang setiap kali selalu
menunggu bantuan dari berbagai pihak. Sifat menunggu dan selalu bergantung
justru merupakan hal ketidakberdayaan dan justru akan memicu kurang
bertumbuhnya inisiatif untuk berjuang, kurangya kreativitas dalam berkarya. Max Weber [10] sekali lagi mengungkapkan kekecewaannya
terhadap dunia modern dimana sebagian
nilai-nilai tradisionalisme yang berbeda dengan peradaban barat ditenggelamkan
dibawah meningkatnya rasionalisasi dan birokratisasi kehidupan social dan ia
melihatnya sebagai takdir era modern( Jhon B.Thomson:110)
Terlepas dari hal tersebut diatas Dominasi idiologi capitalist dalam era
modern dan globalisasi pada satu sisi seakan begitu pragmatis yang mendorong
kemajuan tanpa memandang sebuah proses yang dapat menghasilkan atau melahirkan
sebuah tatanan nilai kehidupan yang hakiki dari eksistensi manusia yang pada
masa tradisionalisme kehidupan manusia telah terbentuk dan tertanam sebagai
sebuah pandangan hidup dan keyakinan hidup untuk menjaga dan merawat kehidupan
yang seimbang antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia
dengan Tuhan pencipta. Perkembangan idiologisasi kapitalis yang ditandai dengan
kehidupan modernis dan globalisasi dengan bersemboyan pada efektivitas,
evisiensi dan rasional tersebut memperalatkan pengetahuan dan teknologi sehingga
kemudian melalui pengetahuan dan teknologi tersebut manusia menggantuykan
perkembangan hidupnya misalnya melalui teknologi untuk mewakili dirinya dalam
proses interaksi yang lebih besar. Manusia menggunakan teknologi untuk bekerja,
untuk berinteraksi sehingga hubungan antara manusia dengan manusia tidak lagi
menjadi hal yang paling penting. Manusia bekerja melalui mesin-mesin hasil
karya teknologi, sehingga manusia tak lagi berproses. Sikap ketergantungan pun
muncul sehingga kemudian warna kehidupan manusia disatu sisi menjadi lebih
instan.
Berbagai pandangan hidup tradisional, keyakinan dan upaya-upaya konkrit
dari kehidupan manusia untuk membangun relasi yang seimbangpun turut menjadi
pudar. Kehadiran modernitas dan globalisasi yang lebih bernuansa kapitalisme
ini tentu bukan berarti dipertentangkan atau digugat melainakan perlu dikritisi
ditengah situasi kehidupan masyarakat dunia secara khusus masyarakat di daerah
daerah bahkan di desa-desa yang masih sangat memiliki sejumlah keterbatasan
hidup. Kondisi kehidupan masyarakat atau bangsa dan negara sedang berkembang
misalnya masih hidup dalam kondisi yang belum semampan kondisi kehidupan di
negara-negara maju yang menganut pandangan capitalist baik dari sisi sumber
daya manusia dan sumber daya sosialnya. Kecenderungan mengadopsi secara penuh
peradaban kehidupan social negara maju dapat mengakibatkan terinternalisasi
pola kehidupan masyarakat local yang ala barat.
Kondisi ini kemudian mengakibatkan situasi dilematis dalam komunitas
local. Masyarakat local di negara sedang berkembang hidup dalam lokalitasnya,
pandangan hidupm local, keyakinan hidup local, sumber daya alam local, sumber
daya social budayanya yang seakan dipaksa untuk menyamakan kondisi kehidupan
negara maju
Modernitas
merupakan sebuah varsa yang menggambarkan sebuah dinamika kehidupan manusia
ditengah pembangunan. Modernitas sendiri menggambarkan sebuah kehidupan
komunitas dunia yang terus berubah dari masa ke masa. Proses perubahan ini
merupakan sebuah hasil refleksi kehidupan yang terus menerus melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi, Modernitas menggambarkan sebuah perkembangan
industrialisasi dalam bentuk dan rupa serta rasa yang berbeda. Kehadiran
industrialisasi yang terus berkembang mengakibatkan hasil industrialisasi
sebelumnya menjadi sesuatu yang lama dan tradisional, sekalipun hal tersebut
lahir di tengah modernitas..
Proses
memperkenalkan industrialisasi ini dilakukan melalui berbagai hal dan dilandasi
juga oleh sebuah idiealisme misalnya idiologi kesejahteraan. Dalam ulpaya mencapai
kesejahteraan hidup itu, manusia berusaha untuk selalu berubah dari kondisi
hidupnya yang ada. Bagaimana dengan kehadiran industry-industri baru itu
membawa dampak bagi hasil industry yang lama? Secara sederhana dapat kita
katakan bahwa hakikat manusia yang selalu berubah menuju pada sesuatu yang baru
itu tentu membuat industry-industri yang lama menjadi sesuatu yang tidak
relevan untuk digunakan.
Globalisasi
sebagaimana istilah yang dikenal saat ini merupakan sebuah proses yang berjalan
seiringan dengan perkembangan penetahuan dan teknologi. ia hadir dalam sebuah
pencerminan situasi dan kondisi yang modernis dengan membawa hasil-hasil
industrialisasi. Beredarnya industri-industri barat sebagai sebuah manifestasi
kondisional masyarakat dalam bentuk dan rupa yang berbeda.
Industri-industri barat tersebut hadir baik melalui hal-hal material maupun
imaterial seperti konsep-konsep, metoda dan strategi serta benda-benda material lainnya.
Kehadirannya
ditengah kondisi masyarakat yang masih terbatas dan belum terjangkau dengan
kondisi bentuk dan rupa produk-produk tersebut dipresepsikan sebagai sesuatu
yang moderen karena ia membahasakan tentang sebuah keindahan, sebuah kemudahan,
keefektivitasan dan keevisinesi, kerasionalitasan yang merupakan simbolisasi kehidupan
masyarakat yang maju dan sejahtera.
Negara-negara
maju melalui produk-produk moderen tersebut terus berkembang dan memasuki
ruang-ruang publik masyarakat baik di kota maupun di desa dalam semua aspek
kehidupan. Proses pengadopsian masyarakat atas produk-produk moderen tersebut
menjadikan sebuah situasi yang semakin moderen, itulah modernisasi.
Mobilitas
industrialisasi yang terus berlanjut dan menembusi sekat-sekat primodialisme
kehidupan masyarakat baik dari sekat geografis, administratif maupun institusional,
kognitif dan afeksi serta pola laku masyarakat ini kemudian dikenal sebagai
sebuah proses yang menggelobal.
Globalisasi sebagai sebuah proses yang mendunia ini membawa misi kolektif dan
terintegrasi secara sistematis, untuk membahasakan sesuatu yang rasional dan berkembang secara
spontanitas.
Rasionalisasi
empirik dari industrialisasi, modernisasi yang menggelobal ini kemudian menjadikan kondisi dan situasi
masyarakat sebelum hadirnya modernisasi itu dipandang sebagai yang tradisional kendatipun itu berada dalam zaman
modern. Presepsi manusiapun memandang kondisi hidupnya sebagai sesuatu yang
kuno, ketinggalan dan keterbelakangan lantas kemiskinan menjadi ujung dari
ungkapan umum untuk mendeterminiskan kondisi kehidupan masyarakat yang sebagai
yang tradisional.
Kemiskinan
sebagai sebuah gambaran keadaan akan keterbatasan hidup masyarakat dari kondisi
modernis kaum kapitalist selain
memandang ukuran kepemilikan sebuah benda atau keberdaaan sebuah kondisi yang
tidak sama dengan kondisi kehidupan kaum modernis ala kapitalist juga dapat disinyalir sebagai sebuah produk
lingual yang mengalienasi situasi kehidupan
melalui tekanan lingusitik Kemiskinan serta topangan idiologisasi
kesejahteraan yang rasional dan objektif.
Pengaruh
kuatnya idiologisasi industrialisasi, modernisasi yang menggelobal tersebut memandang kesejahtraan sebagai
sebuah kondisi dan keadaan serba ada dari kepemilikan akan sesuatu. Inilah
wajah kapitalistik yang telah membumi dalam kognitif, afeksi masyarakat
sehingga mendorong tindakan masyarakat untuk mencapainya.
Tidak mengherankan munculah berbagai life
style, adanya sikap hedonisme dan konsumerisme yang menggambarkan sebuah
kebebasan dan kemerdekaan tanpa harus memandang batas-batas etik, normatif dari
kehidupan masyarakat. Karakteristik manusia yang selalu ada dan memiliki,
terbentur pada janji-janji modernitas yang melahirkan upaya-upaya manusia yang
kadang berdampak menimbulkan persaingan, konflik dan penghalalan segala cara
untuk memilikinya.
Tidak terlepas
dari itu kondisi ketidakberdayaan masyarakat ditengah hadirnya modernitas
industrialisasi bergeser pada persoalan
lain seperti sikap cemburu, curiga
kepada mereka yang memiliki dalam kehidupan sembari selalu merasa tidak puas
dengan kondisi yang ada mendorong seseorang untuk memperolehnya misalnya
fenomena korupsi, manipulasi, rekayasa, intranspransi dan inakuntabilitas
menjadi solusi instan untuk mendapatkannya.
Peleburan
antara kehidupan yang modernis dan tradisional lambat laun memunculkan
kondisi masyarakat yang dilematis pada keadaan keterbatasan.
Industrialisasi dan modernitas yang bertujuan untuk mengatasi persoalan
kemiskinan ekonomi masyarakat tidak saja membawa kemajuan tetapi juga
berbarengan memunculkan kemiskinan dari aspek lain kehidupan manusia. Kemiskinan, keterbatasan dan ketradisionalan,
tetap akan ada untuk menjaga kelangsungan industrialisasi dan modernitas.
Sebuah ceritra
usang yang mengurai metode dan mekanisme tersebarnya paham kapitalist dan
produk-produknya mengungkapkan bahwa untuk kepentingan kapitalist negara-negara
maju mendoktrinkan kondisi kemajuan bahwa sebuah negara yang dikatakan
sejahtera maka negara sedang berkembang semestinya menerapkan konsep dan
strategi pembangunan sebagaimana yang dilakukan oleh negara maju. Pengakuan
dari negara berkembang akan keterbatasan yang dimiliki menjadi ruang penawaran
bagi negara maju untuk tampil sebagai pelaku yang menginvestkan konsep-konsep
seraya menanamkan modal melalui berbagai program kerja,perusahaan dan
lembaga-lembaga industialis lainnya.
Secara
lokalitas kenegaraan di Negara sedang berkembang, konsep-konsep pembangunan
tersebut dilakoni sebagai produk
politik dalam membangun masyarakat dan
bangsa yang didukung dengan sejumlah kebijakan dan regulasi pembangunan.
Regulasi ataupun kebijakan pembangunan tercipta untuk menjaga keberlangsungan
program-program pembangunan tersebut agar terorganisir, terarah dan terstruktur
agar upaya kesejahtraan masyarakat yang dikonsepsikan dapat tercapai .
Selain itu
produk-produk lokal negara dalam bentuk aturan atau kebijakan pembangunan mau
dan tidak mau juga tetap dipengaruhi oleh
maksud dan tujuan untuk negara-maju yakni tersebarnya idiologisasi
kapitalist di negara-negara sedang berkembang melalui hadirnya konsep-konsep
dan interaksi pasar global.
Berbagai
uraian tentang globalisasi dan dampaknya baik yang menghasilkan nilai-nilai
positif maupun nilai-nilai negatif dalam pandangan lokal kita, industrialisasi
dan modernisasi yang menggelobal tersebut tak dapat kita sangkali dan menutut
kita untuk mengikutinya. Ditengah arus globalisasi yang menawarkan idiologisasi
kapitalist tersebut memunculkan sebuah kemungkinan akan terjadinya kebebasaan
masyarakat yang kerap menciptanya kesenjangan dan ketimpangan dalam hidup yang
pada gilirannya mengancam integritas kehidupan masyarakat baik secara pribadi
maupun kolektif, baik antar sesame maupun manusia dengan alam lingkungannya.
Industrialisasi,
modernisasi yang menggelobal itu telah memunculkan adanya liberalisasi berbagai
bidang misalnya bidang ekonomi adanya kebebasan bagi negara asing untuk
melakukan investasi di berbagai bidang, misalnya negara-negara maju yang telah mengikat diri
dalam lembaga internasional seperti IMF (International Monetary Fund) dan WTO ( World Trade Organization)
Bank Dunia dan ADB dan sebagainya.
Keterlibatan
lembaga internasional sebagaimana yang
disebutkan di atas tidak hanya mensuprot dana
tetapi juga melalui berbagai kebijakan-kebijakan. Ketika negara-negara
sedang berkembang mengikat diri dalam lembaga internasional ataupun
negara-negara maju lainnya maka terjadilah kerjasama dimana terciptanya
kesepakatan-kesepakatan bersama yang harus diikuti sebagai sebuah sistem
kerjasama.
Kondisi ini
secara jelas bagi Negara sedang berkembang untuk memasukan aturan aturan yang
telah disepakati dalam regulasi legal formal negara seperti undang-undang atau
kebijakan lain beserta prinsi-prinsip pengelolaan dan pengembangannya. Sebut
saja misalnya beberapa bentuk kerjasama indonesia dengan negara-negara maju dan
atau lembaga internasional sebagaimana yang digambarkan Syamsul Hadi,dkk
(2012) misalnya IMF yang memasukan
konsep liberalisasi ekonomi ditengah krisis ekonomi Indonesia.
Tekanan IMF,
misalnya kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi sejumlah BUMN
atau dalam latter of Intent (Loi)
antara Pemerintah Indonesia dengan IMF (29 Juli 1998), disebutkan Pemerintah
Indonesia membuat komitmen agar aturan-aturan investasi asing akan
disederhanakan dan dipermudah. Selain itu , pemerintah juga berkomitmen akan
menghapus hambatan bagi investasi asing disektor perdagangan grosir. Pada awal
reformasi dimana Indonesia terkena krisis ekonomi tahun 1998, IMF melalui paket
bantuannya meminta Indonesia melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk
mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi, salah satunya misalnya
disektor energi
Disebutkan juga misalnya pemberian akses bagi
investor asing terhadap kekayaan alam
Indonesia sebagaimana tercermin dalam UU Migas dan UU Penanaman Modal.
Intervensi Asian Development Bank
(ADB) dan Bank Dunia misalnya konstribusi ADB dalam regulasi Sistem jaminan
sosial nasional (IJSN), selain itu Bank Dunia misalnya berkontribusi terhadap
terbentuknya undang-undang SJSN. Bank dunia merekomendasikan pemerintah
Indonesia untuk lebih fokus pada pelayanan publik yakni melalui kebijakan yang menawarkan Indonesia mempercepat
realisasi Undang-undang No 40 tahun 2004
tentang SJSN misalnya yang kita kenal bentuk-bentuknya seperti
Jamsostek,Taspen, ASABRI, ASKES, BPJS yang sedang dilaksanakan.
Beberapa bentuk
kerjasama ini hendak menggambarkan bahwa ketika intervensi negara-negara maju
atau lembaga internasional masuk dalam agenda pembangunan bangsa di Negara
sedang berkembang maka seiring dengan itu sejumlah konsep, strategi, metode
terus mengikuti sejumlah program yang disponsori. Secara nasional mau dan tidak
mau diikuti karena memang Negara sedang berkembang masih memiliki ketergantungan kepada
pihak-pihak luar. Bagaimanapun dan kepada siapapun yang memiliki modal selaku
pendonor, maka disana akan ada ruang bagi tumbuhnnya ide dan gagasan. Hal ini
merupakan sesuatu yang wajar namun disatu sisi posisi tawar bagi negara manapun
dan kepada siapapun menjadi semakin melemah Negara sedang berkembang belum
begitu siap menghadapi kondisi tersebut. Integritas lokalitas kenegaraan
menjadi sebuah taruhan sehinga kondisi dilematika kultural bangsa menjadi
semakin ditantang.
Dengan
demikian uraian uraian tersebut di atas mau menegaskan bahwa setiap negara
khusunya negara berkembang seperti Indonesia yang merupakan negara
multikultural, sebagaimana semboyan
negara Bineka Tunggal ika serta Pancasila sebagai Dasar Negara adalah
jati diri bangsa yang diharapkan menjadi spiritual kehidupan berbangsa dan
bernegara. Menggelobalkan Pancasila
sebagai dasar hidup masyarakat dijaman modern merupakan proses memodernisasi
kehidupan masyarakat.
Pancasila sebagai dasar Negara adalah pilar
pembangunan yang jika dihayati dalam berbagai kegiatan pembangunan baik
politik, pemerintahan, administrasi, maupun pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan,
pemberdayaan dan kehidupan sosial budaya akan menjadi suatu benteng pertahanan
yang mensterilisasi berbagai sistem pembangunan dunia yang kaya akan
idiologisasi dan yang belum tentu relevan dengan idiologisasi di Negara
berkembang
Kehadiran
globalisasi menjadi sebuah keahrusan dan sulit untuk dihindari.Kemiskinan
berdada dalam pusaran globalisasi baik sebagai sebab maupun akibat. Kemiskinan
tetap akan ada dalam bentuk yang barangkali sudah berbeda untuk menjaga dan
memelihara kelangsungan industrialisasi dan modernitas. Kondisi kehidupan saat
ini yang disebut moderen, pada suatu saat ketika perkembangan saman semakin
melangit, ia akan berubah menjadi yang tradisional dan dikatakan miskin sebab
puluhan tahun kemudian perkembangan saman semakin berubah.
Globalisasi
adalah kekuatan yang memberi klaim pada keberlanjutan industrialisasi dan
modernitas dalam menjaga sebuah mekanisme kekuasan dalam dunia ekonomi. Lalu
apakah kita harus berada pada posisi ketertinggalan, ketradisionalan dan keterisolasian?
Atau apakah kita harus menjalani
modernisasi yang kian menggelobal?. Pertanyaan ini menuntut sebuah
selektifitas. Sesuatu yang harus dilakukan adalah menjalani modernitas dengan
tidak meninggalkan kearifan lokal agar eksistensi lokal tetap tercipta sebagai
langkah mengglobalkan lokalitas atau kearifan-kearifan lokal yang berperan
meminimalisir dominasi idiologi kapitalistik tetapi juga bermaksud untuk
menjaga dan memlihara keseimbangan agar ada dan tercipta identitas lokal.
Moidernitas
dan globalisasi adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggambarkan tentang
sebuah bentuk kemajuan.disana terdapat gambaran akan kesejahteraan, akan
kualitas hidup. Demi keberlangsungan hidup modernitas itulah, bangsa-bangsa di
dunia yang telah mendahului interaksi kehidupan dalam panggung sandiwara dunia
enggan melepaskan identitasnya sebagai pengawal, pendahulu dan pencipta yang
olehnya berbagai kreativitas, inovasi telah lama dipraktekan sehingga demi
keberlangsungannya tersebut, muncul adanya gagasan baru untuk keluar dari
komunitasnya dengan menebar sitem globalisasi.
Pasar bebas
adalah sebuah jalur penyebarluasan kerativitas, dan inovasi ke lintas daerah
dan Negara agar tumbuh hal baru demi menjaga keberlangsungan kreativitas dan
inovasi dinegerinya sendiri dalam bahasa politik, sebut saja proses
penyebarluasan kekuasaan kapitalistik. Perdagangan bebas menjadi pintu masuknya
berbagai kreativitas dan inovasi baik melalui hal-hal material maupun konsepsi.
Kreativitas dan inovasi yang dimiliki oleh Negara-negara maju hanya akan bisa
berkembang manakala hal tersebut disalurkan keluar dari daerahnya dan ketika
itu daerah misalnya Negara berkembang mengadopsinya dan disinilah ruang
kekuasaan akan terus bertumbuh.
Jika suatu
Negara berkembang ingin menjadi seprti Negara-negara maju, maka disanalah
proses sharing strategi terjadi. sharing strategi tidak begitu saja terjadi,
tetapi ia akan didahului dengan sejumlah consensus. studi banding antar Negara
misalnya bias menjadi ruang pengabdosian, tawaran menjadi donator,ataupun
kemasan-kemasan program yang lain semisal beasiswa pendidikan di luar negeri,
kerjasama antar Negara ataupun lainnya.
Modernisasi
dan globalisasi memang tidak bias dihindari, ia memang harus dilalui namun
ketika modernisasi dan globalisasi yang menawarkan sejumlah bentuk kemajuan
itu, hal yang dibutuhkan adalah standing position state dan posisi tawar bangsa
menjadi penentu. Sebut saja Negara Indonesia yang memiliki idiologi pancasila,
maka idiologoi ini harus menjadi jaminannya.pancasila menjadi penyatu bahkan
menjadi arah pembangunan bangsa yang diharapkan dapat menjadi penyaring yang
mampu memberi seleksi terhadap sejumlah tawaran idiologisasi lain. modernisasi yang menggelobal tersebut dapat
dijadikan sebuah strategi untuk mendorong potensi kearifan local bangsa ketika semua elemen bangsa ini
berkomitmen untuk mempraksiskan nilai-nilai npanscasila kedalam proses
pembangunan bangsa.
modernitas
sebenarnya adalah sesuatu yang sangat rasional, sangat efektif dan seharusnya
digunakan. kehadirannya ditengah tradisionalisme pembangunan serta sejumlah
keterbatasan hidup membawa konsekuensi dilematika social. sejumlah presespi dan
penafsiran serta sejumlah kepentingan hidup menjadikan modernitas menjadi
sesuatu yang kadang memberi dampak negative bagi sebuah komunitas. kerapuhan
modal social komunitas masyarakat lahir karena keterbatsan hidup komunitas.
dengan demikian menggunakan strategi modernitas untuk menggalang kekuatan
lokalitas menjadi hal yang penting agar dari potensi local itu dapat kita globalkan
melalui sederetan aktivitas pembangunan bangsa. memperkuat gagasan pancasila
adalah hal yang barangkali dapat menjadi instrument untuk meletakan Indonesia
pada posisi dunia sebagai Negara pelopor
perubahan.
Ketika Amerika
atau Negara maju lainnya disebut sebagai Negara pelopor perubahan dunia, kenapa
Inondonesia tidak bias disebut demikian? Indonesia dengan gagasan Pancasila
serta kebinekaan tunggal ika dapat tampil menjadi pelopor yang memodernisasikan
dan menggelobalkan pancasila sebagai gagasan dunia untuk menyelamatkan dunia
dari dominasi kapitalistis. sebab untuk
menjadi sejahtera, mandiri seperti Negara-negara maju sebenarnya ada di dalam
Pancasila,pancasila selain itu juga menjadi dasar bagi proses pembangunan yang
seimbang.
Modernitas dan
globalisasi menjadi sebuah vrasa instrumental yang memiliki kekuatan perubahan
menuju pada persamaan kondisi secara global. Disisi yang lain dominasi
modernitas dan globalisasi dapat menciptakan kesenjangan social karena tidak
diikuti dengan sebuah ketahanan cultural dilevel akar rumput. Ketahanan
cultural mengandung nilai-nilai hidup, disana terdapat spiritualitas kehidupan
yang mengajarkan tentang keseimbangan hidup. Nilai-nilai hidup sebagaimana di
Indonesia yang terkatub dalam lima sila pancasila merupakan cerminan hidup
bangsa Indonesia yang multicultural. Proses penjabaran nilai hidup tersebut
semestinya dilembagakan secara praksis berdasarkan kearifan local setiap daerah
hingga ke desa. melembagakan pancasila berarti tidak sekedar melavalkannya
melainkan dipraksiskan kedalam kehidupan sehari-hari baik melalui pendidikan
formal maupun non formal, baik dalam urusan social budaya maupun politik dan
ekonomi. Misalnya dalam urusan adat istiadat, sejumlah pandangan dan keyakinan
akan nilai hidup yang dibahasakan secara local sebagaimana dibahasaindonesiakan
kedalam lima sila pancasila menjadi penting untuk di lembagakan.
Uraian
mengenai perkembangan modernitas dan globalisasi tersebut dalam komunitas
lokalitas masyarakat kita membutuhkan sebuah intervensi untuk mengkapasitaskan
potensi lokalitas kita dengan menggunakan metode modernisasi dan globalisasi
untuk menginternalisasikan potensi local itu menjadi sebuah dasar kehidupan
manusia dan masyarakat secara kolektif di tingkat lokalitas.
Berbagai
perubahan dewasa ini khususnya kehidupan masyarakat di desa sebagai pewaris
kemiskinan teertinggi tealah berubah jauh dari identitas lokalitasnya. Desa
yang dulunya hidup dalam kondisi kehidupan yang damai, penuh dengan
kekeluargaan, solidaritas, transparansi, spontanitas, penuh dengan inisiatif,
toleransi, kerjasama dan tingkat partisipasi yang tinggi saban hari semakin
pudar. Nilai-nilai kehidupan masyarakat yang menjadi modal social dalam
pengembangan kehidupan yang sejahtera seakan terpupus oleh persaingan yang tidak
sehat. Disana muncul sejumlah fenomena, ada berbagai konflik seperti perang
tanding, tawuran antar warga, perebutan hak ulayat, perebutan jabatan dalam
pemerintahan desa, kecemburan, kecurigaan, yang pada gilirannya memicu
disintergrasi local.
Mengapa kondisi
ini terjadi, tentu menjadi sebuah refleksi bersama ditengah hadirnya dominasi
modernitas dan globalisasi yang menawarkan berbagai kondisi kehidupan.
Masing-masing orang berusaha untuk mencapai cita-cita modernitas yaitu
kesejahteraan, maka darinya ketika kesejahteraan tidak diikuti dengan sebuah
penggelobalan nilai-nilai kearifan local memunculkan prifatisasi kehidupan
disegala aspek kehidupan. Siapa yang kuat ia menjadi pemenang.
Kondisi
kehidupan yang demikian tentu mebutuhkan sebuah perubahan pola kehidupan dan
system social politik yang berbasis pada kearifan lokalitas. Saat ini prosesi
pembangunan diarahkan kepada pengoptimalisasian kearifan local. Berbagai
regulasi dikemas misalnya UU No 6 tahun 2014 tentang desa yang pada prinsipnya
mengakui dan menghormati hak desa dan menetapkan kewenangan desa berskala local
desa. Dua asas utama rekognisi dan subsidiaritas ini menjadi ruang yang terbuka
bagi desa untuk bereksplorasi secara lebih dalam membangun kesejahteraan dan
kemandirian masayarakat dan desa. Desa memiliki berbagai potensi yang patut
untuk dikembangkan dan dikelola, desa memiliki sejumlah asset yang potensial.
Desa tidak saja menjadi basis dan medan akhir dari berbagai proses pembangunan.
Desa adalah dapur, ia bias menjadi awal tetapi juga menjadi yang terakhir, ia
bias menjadi sumber tetapi juga menjadi tujuan akhir dari semua arah perubahan.
Menuju desa
membangun, semestinya kita memahami seperangkat pengetahuan tentang realitas
perubahan dari masa ke masa, dari sejumlah konsepsi, atau dari sejumlah
dinamika kehidupan. Modernisasi dan globalisasi berangkat dari desa, berkembang
oleh desa dan bertujuan pula kepada desa. Artinya jika desa dalam pandangan
tradisional sebagai sebuah komunitas yang hidup dalam sejumlah keterbatasan dan
bertumbuh pada kearifannya, terus dihayati dan dipertahankan dan seiring
perkembangan ilmu pengetahuan yang mencipta berbagai industry, strategi dan
model untuk membawa keluar apa yang dihasilkannya melalui istilah pasar bebas
maka terkenal pula hasil karya itu. Itulah negara-negara yang mengawali proses
pertumbuhan menggelobalkan hasil karya dan pengalaman pengetahuannya ke
komunitas yang lebih besar. Mereka dikenal sebagai negara pendahulu dan oleh
kita disebut sebagai negara yang sudah maju.
Negara-negara
maju mengawali kemajuannya dengan inisiatif, kreativitas dan inovasinya dari
kondisi lokalitasnya menuju pada relasi yang lebih besar dan luas. Siapapun dan
negaramanapun mengawalinya dari dirinya sendiri, dari potensi yang dimilikinya.
Dia berawal dari desa.
Sejumlah
catatan penting dari keseluruhan uraian ini bermaksud untuk member pemahaman
tentang bagaimana meletakan sebuah konsepsi pada sebuah latar kehidupan
komunitasnya. Konsepsi kemiskinan misalnya tidak hadir dengan sendirinya
melainkan sebuah refleksi kritis pada keadaan dan perbedaan keadaan dari
seseorang kepada yang lain, dari komunitas yang satu kepada komunitas yang
lain.
Sementara
uraian tentang modernitas dan globalisasi tidak sekedar memberikan pemahaman
tentang sebuah kemajuan semata, melainkan menunjukan betapa inisiatif, inovasi
dan kreatifitas manusia dan komunitasnya dikembangkan dan ditumbuhkan dalam
sebuah semangat dan komitmen bersama untuk mewujudkan kemajuan diberbagai
sector.
Negara-negara
maju sudah lama member jalan untuk menumbuhkan inisiatif dan kreativitas serta
inovasi untuk dikembangkan oleh negara-negara di luar dirinya. Dia berangkat
dari komunitas kecilnya yaitu desa.
Mengapa ?
karena desa adalah sebuah cerminan komunalitas, disana ada kebersamaan, ada
kekeluargaan, ada solidaritas antar warga, Ada inisiatif, ada spontanitas, ada
ikatan persaudaraan, ada gotong royong, ada kepedulian. Wajah desa yang
demikian inilah menjadi kekuatan yang merefleksikan sejumlah harapan akan
kehidupan yang sejahtera. Namun demikian apakah desa kini masih menggeliatkan
komitmen komunalitasnya ditengah modernitas da globalisasi dewasa ini ?.
menjadikan modernitas dan globalisasi sebagai ruang dan alat menumbuhkan
inisiatif. Kreativitas dan inovasi untuk menjadikan kearifan local sebagai
sebuah kebudayaan global, sebab modernisasi hadir untuk menyempurnakan dan
bukan untuk meniadakan kearifan local dan globalisasi adalah alatnya.
Berbagai
uraian tersebut diatas mau mengatakan bahwa kemiskinan ada dalam bingkai global
yang sangat multidimensi dan relative. Keterbatasan sumber daya manusia adalah
persoalan utama, yang darinya dapat menimbulkan berbagai kesenjangan baik
structural maupun cultural. Kesenjangan tersebut kemudian mewabah ketika
terdapat keterbatasan sumber daya manusia dari aspek moralitas hidup akibat
adanya ketimpangan dari alokasi kekuasaan yang tidak seimbang. Terdapat
berbagai elemen masyarakat dalam proses pembangunan seperti pemerintah, Civil
society dan swasta. Elemen-elemen ini memeiliki peran yang sama yakni memajukan
pembangunan dan transformasi social. Ketika elemen-elemen ini diberi kewenangan
yang semakin terbuka akan member dampak pada proses penguatan kapasitas
kehidupan yang lebih baik.Ketika kesenjangan ini terjadi antara elemen elemen
tersebut maka sebenarnya kemiskinan pun sedang terjadi.
Hal yang mau
ditegaskan adalah bahwa kemiskinan terjadi karena ada ketimpangan social baik
dalam ranah structural maupun cultural. Keterbatasan Sumbbber daya manusia yang
kurang Pembagian akses kewenangan yang kurangdan atau kurang terakomodirnya
berbagai elemen dalam menjalani tugas dan fungsi, kurang adanya kesetaraan,
kebersamaan, solidaritas, dominasi kepentingan serta privatisasi kehidupan yang
menguat, kurang adanya komitmen dan konsistensi.
Hal kedua, Kehadiran
modernitas dan globalisasi yang membawa perubahan yang cukup signifikan baik
perubahan kearah kemajuan hidup maupun perubahan yang terkadang memunculkan
kemunduran nilai hidup akibat dari
lemahnya sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya social,alam dan budaya
serta politik maka setidaknya modernitas dan Globalisasi dipahami sebagai saluran yang menyebarkan inisiatif,
kreativitas dan inovasi bagai kehidupan yang dikatakan tradisional. Dengan
demikian tugas kita adalah mengembangkan pendekatan modernitas dan sejumlah instrumentnya
untuk mendorong munculnya inisiatif, kreativitas dan inovasi dalam
mengembangkan aset aset tradisional yang kaya akan kearifan-kearifan local.
Tujuannya ialah bukan untuk sekedar mencapai modernitas melainkan membangun
keseimbangan dan kesetaraan hidup.
Menggunakan
dan mengembangkan aset aset tradisional atau local itu dalam spirit kearifan
local dengan pendekatan modernitas menjadi penting untuk menumbuhkan berbagai
potensi local agar mampu berkontribusi dalam meningkatkan dan mendorong kesejahteraan
hidup.Disini proses perubahan dalam pembangunan diarahkan kembali untuk
menumbuhkan semangat kehidupan komunitas desa sebagai pewaris kearifan local untuk
berkomitmen mengawali perubahan pembangunan itu dari des agar kondisi
kemiskinan masyarakat dapat di entaskan menuju kemandirian dan kesejahteraan.
[1].https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/07/24/provinsi-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi-pada-maret-2018
27 Agustus 2018
[3] Ambar Teguh Sulistyani, 2004.Op.cit. hal.17
[4] Swis Tantoro 2014, Op.cit,
hal. 29
[5]Swis Tantoro, Ibid.
[6]Swis Tantoro, Ibid.hal 30
[7]Swis Tantoro, Ibid.
hal. 27
[8]Usman. Sunyoto , 2012, Op.cit. .hal.33
[9]Sunyoto
Usman, 2012, Op.cit. hal.36